Ketua DKPP Jimly Assiddique Tatar Kode Etik Penyelenggara Pemilu Riau

id ketua dkpp, jimly assiddique, tatar kode, etik penyelenggara, pemilu riau

Ketua DKPP Jimly Assiddique Tatar Kode Etik Penyelenggara Pemilu Riau

Pekanbaru, (Antarariau.com) - Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu Indonesia Jimly Assiddiqie memberikan pembekalan kode etik pada penyelenggara Pemilu yakni Komisi Pemilihan Umum dan Badan Pengawas Pemilu tingkat provinsi dan kabupaten/kota di Riau.

"Penyelenggara harus sadari posisinya. KPU hati-hati sama peserta pemilu, tempatkan diri di tempat yg benar. Penyelenggara Pemilu harus merasa setara dengan kepala pemerintahan," kata Jimly di Pekanbaru, Sabtu.

Setelah merasa setara kemudian pada saat Pemilu harus merasa lebih tinggi pada para calon. Jika calon adalah petahana juga harus seperti itu dan jangan merasa berada di bawahnya.

"Hal yang sama juga dengan Bawaslu. Kalau ada dirasa pelanggaran panggil saja. Udah ketakutan itu walaupun calon sedang menjabat kepala daerah," lanjutnya diiringi tawa peserta pembekalan.

Hal itu dikatakannya melihat evaluasi yang terjadi pada pemilihan kepala daerah serentak Desember 2015 lalu. Saat itu aturan Liaison Officer seperti pemilihan legislatif juga diberlakukan kepada Pilkada yang calonnya tidak sampai sepuluh.

LO ini yang menjadi jembatan komunikasi antara KPU dan calon. Permasalahannya LO ini tidak jelas statusnya karena paling banyak hanyalah orang suruhan. "LO tak jelas statusnya bahkan aksesnya ke ketua partai sekali seminggu pun diragukan karena orang suruhan," ungkapnya.

Oleh sebab itu, dia meminta KPU tidak kaku pada pasangan calon. Kalau bisa untuk urusan apapun harus calon yang datang salah satu baik itu bupati/walikota atau wakilnya. "Kalau tak hadir didiskualifikasi, tapi ini buat dulu peraturannya," ujarnya.

DKPP sendiri, lanjut dia, sudah menerima belasan ribu pengaduan terhadap petugas mulai dari tingkat penyelenggara pusat sampai kecamatan. Diberi sanksi 1.000-an mulai dari teguran sampai diberhentikan sekitar 350 lebih dimana rata-rata karena tidak netral.

"Yang disidangkan paling banyak 10-20 persen dari sekian banyak aduan. Yang memenuhi syarat saja. Sekarang tak banyak lagi, ada sekitar lima lagi, tidak sebanyak sebelumnya," ujarnya.