Akademisi: Kondisi Brexit Pengaruhi Ekonomi Indonesia

id akademisi, kondisi brexit, pengaruhi ekonomi indonesia

 Akademisi: Kondisi Brexit Pengaruhi Ekonomi Indonesia

Pekanbaru, (Antarariau.com) - Akademisi Universitas Andalas Benny Dwika Leonanda berpendapat sulit diprediksi ekonomi Indonesia akan membaik dalam waktu dekat.

"Hal ini antara lain ditandai dengan realisasi pendapatan negara pada semester pertama tahun 2016 sebesar Rp634,67 triliun lebih atau baru 35,5 persen dari target APBNP tahun 2016," kata Benny saat dihubungi dari Pekanbaru, Kamis.

Pendapat itu disampaikannya terkait kondisi ekonomi dunia, menyusul Brexit, penuh dengan ketidakpastian.

Bahkan IMF sendiri telah mengoreksi pertumbuhan ekonomi dunia untuk ketiga kalinya pada Juli 2016, sebesar 3,1 persen. Semula IMF merilis pertumbuhan ekonomi pada Januari 2016 3,4 persen dan diubah 3,2 persen pada April 2016.

Menurut Benny, perkiraan pertumbuhan ekonomi dunia pada 2017 yang akan datang direvisi ulang dari 3,5 persen menjadi 3,4 persen. Hal itu akan mempengaruhi perekonomian banyak negara, termasuk Indonesia, katanya lagi.

Menurut dia, realisasi pendapatan negara sebesar Rp634,67 triliun lebih itu, justru lebih rendah dari pendapatan negara pada semester I tahun 2015 tercatat sebesar Rp667,92 triliun lebih atau 37,9 persen dari target APBNP tahun 2015.

Berkurang pendapatan negara, katanya lagi, tentu saja akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi domestik saat ini dan pada masa datang.

"Mirisnya proyeksi semester kedua justru tidak akan lebih baik, karena tidak ada faktor-fator yang mendukung berkembang ekonomi saat ini, baik yang berasal dari dalam maupun luar negeri. Ekspor Indonesia menurun, sedangkan pasar dalam negeri juga lesu," katanya lagi.

Hal itu, kata dia, terlihat pada angka ekspor dan impor yang rendah pada semester I 2016, lebih rendah dari tahun sebelumnya.

Baru-baru ini BPS menyatakan bahwa ekspor Indonesia dari Januari-Juni tercatat 69,51 miliar dolar AS atau turun 11,37 persen dibanding periode yang sama tahun 2015.

Sedangkan impor Januari-Juni 2016 tercatat 65,92 miliar dolar AS, juga turun 10,86 persen dibanding periode yang sama 2015.

Menurutnya, merujuk dari perkembangan ekonomi Indonesia tahun 2015, maka kondisi ekonomi 2016 diperkirakan tidak akan lebih baik dari tahun lalu.

"Jika Pemerintah RI hanya mengandalkan pembangunan infrasktur melalui modal asing justru tidak akan membantu banyak pertumbuhan ekonomi dalam negeri, kecuali melancarkan arus perdagangan barang dan komoditas negara asing pada pasar dalam negeri. Ironisnya memang produksi dalam negeri akan kalah bersaing dari segi kualitas dan harga jual," katanya pula.

Ia memandang terlalu riskan menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia tumbuh dan bisa mencapai 5,2 persen tahun ini sebagai penunjang pembangunan dan kesejahteraan rakyat pada masa akan datang.

Menurutnya lagi, pertumbuhan ekonomi sebuah negara lebih terkait dengan produksi barang-barang yang dihasilkan oleh mesin-mesin ekonomi, seperti pabrik, manufaktur, dan aktivitas ekonomi kerakyatan lain yang menghasilkan barang-barang dan jasa.

Dia menyatakan, ketersediaan modal lebih sangat tergantung kepada sumber daya alam dan sumber daya manusia yang berada di negara tersebut, selain bank-bank dengan bunga rendah dan keuangan negara yang sehat dan pajak rendah.

Hal itu, katanya, tentu saja akan menjadi stimulus pertumbuhan ekonomi Indonesia pada masa datang.

Disamping itu, menurutnya, ketersediaan barang yang cukup, dan inflasi terkendali oleh ketersediaan barang dan jasa di dalam negeri harus menjadi fokus pemerintah sat ini, bukan jumlah uang yang beredar sehingga menyebabkan penurunan nilai mata uang rupiah terhadap harga barang.

"Tetapi ketersediaan barang kebutuhan masyarakat dicukupi dari hasil produksi sendiri atau domestik, bukan berasal dari produk impor, sehingga ekonomi bergairah, dan daya beli masyarakat meningkat. Ekonomi negara tumbuh dan kesejahteraan masyarakat meningkat," katanya lagi.

Sebaliknya, ujarnya pula, hanya mengharapkan pembiayaan negara dari utang dalam maupun luar negeri, serta menerbitkan SBN (Surat Berharga Negara) bukan sebuah pilihan yang harus diambil oleh pemerintahan masa kini.

Menurutnya, bagaimana pun utang akan menjadi beban besar bagi pemerintah selanjutnya sekaligus akan memperbesar APBN pada masa datang.

"Arah pembangunan bangsa dan negara pun akan terganjal oleh prasyarat-prasyarat yang ditentukan oleh negara-negara pemberi utang," kata Benny Dwika Leonanda pula.