Ambisi Jokowi Dan Catatan Kecil Pengamat Ekonomi Unand

id ambisi jokowi, dan catatan, kecil pengamat, ekonomi unand

Ambisi Jokowi Dan Catatan Kecil Pengamat Ekonomi Unand

Pekanbaru (Antarariau.com) - Berdasarkan pidato Presiden Joko Widodo tentang Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) tahun 2017 pada sidang tahunan MPR 16 Agustus 2016, tersirat bahwa secara keseluruhan pendapatan negara berkurang sebesar Rp48,6 triliun atau sekitar 2,79 persen dari ABPN-P 2016.

Sementara itu, belanja pemerintah tidak berubah banyak dan hanya berkurang lebih dari Rp12,4 triliun atau sekitar 0,6 persen dari APBN-P 2016.

Pengamat ekonomi dari Universitas Andalas, Benny Dwika Leonanda berpendapat bahwa Pemerintahan Jokowi-JK menyusun APBN 2017 terlalu ambisius dan masih berharap pertumbuhan ekonomi yang tinggi pada 2017.

"Padahal di tengah turunnya angka ekspor dan impor serta pendapatan pemerintah dari pajak yang juga turun, pemerintah justru terkesan tidak menyadari bahwa kondisi negara diambang krisis ekonomi dan finansial yang akan timbul disebabkan ketidakpercayaan pasar terhadap ketidakmampuan pemerintah atas pengelolaan keuangan negara," katanya.

RAPBN 2017, menurut Benny, tentu akan menyulitkan pemerintah dalam menyusun anggaran belanja, dan mencapai target-target yang telah dicanangkan oleh pemerintah sebelumnya.

Faktanya, katanya, tahun ini pemerintah telah memangkas anggaran belanja sebesar Rp184,4 triliun atau 8,79 persen dari APBN 2016, bisa dipastikan angka pertumbuhan 5,2 persen dari APBN-P 2016 yang ditargetkan mustahil tercapai.

"Pemangkasan ini justru akan menurunkan konsumsi pemerintah, dan konsumsi masyarakat pada tahun 2016, sementara untuk investasi, pemerintah sendiri hampir tidak punya uang sama sekali. Satu-satunya jalan mungkin mengharapkan investor dari luar negeri," katanya.

Ironisnya, justru setiap negara saat ini juga sama-sama mencari investor untuk meningkatkan pertumbuhan dan GDP mereka sama halnya dengan Indonesia. Akan tetapi pada kondisi kini diyakini investor lebih cenderung menghindari konsumsi dan melakukan investasi.

Oleh karena itu, dalam pandangan Benny, pemerintah seharusnya mulai berpikir untuk mengubah prioritas pembangunan nasional, melakukan efisiensi, dan penghematan besar-besaran, serta merampingkan kabinet. Menyatukan dan mengubah bentuk kementerian dan lembaga sehingga target-target pemerintah lebih fokus untuk penyelamatan ekonomi nasional.

"Target baru memang dibutuhkan namun harus dibarengi upaya untuk meningkatkan penghasilan negara dan pendapatan masyarakat, sehingga mampu menunjang APBN tahun selanjutnya. Ini merupakan tantangan baru, tantangan nyata dari kondisi saat ini, bahwa perekonomian negara perlu segera diselamatkan," katanya.

Benny merujuk contoh kebangkitan ekonomi Indonesia secara mandiri guna menyelamatkan ekonomi RI yakni Pemerintah sudah harus menunda proyek-proyek besar yang menyedot anggaran sangat besar dan mengalihkan kepada sektor-sektor produktif yang memperbaiki iklim investasi dalam negeri.

Selain itu pemerintah juga perlu menciptakan pasar-pasar baru yang mampu menampung komoditas ekspor untuk diproduksi di dalam negeri, mengembangkan teknologi domestik dan melepaskan ketergantungan terhadap pasar dan produk-produk asing.

"Ini bisa dilakukan, jika Pemerintah Indonesia serius tidak tergantung pada pasar dan produk-produk luar negeri. Sebab Indonesia memiliki wilayah yang luas dengan berbagai suku bangsa, mempunyai musim-musim yang berbeda antara daerah bagian utara dan selatan, antar bagian barat dengan bagian timur," katanya.

Semua potensi tersebut, kata Benny, optimitis menjadi modal dasar dalam mebentuk pasar domestik dan mengembangkan sistem perekonomian sendiri.

Benny menekankan bahwa kondisi ekonomi dunia kini belum menunjukkan perbaikan, demikian juga kondisi ekonomi dalam negeri yang masih lesu, walaupun tingkat konsumsi masyarakat (laporan BPS, red) pada semester dua masih cukup tinggi, namun pendapatan pajak pemerintah berkurang dari tahun lalu, dan kemungkinan semakin berkurang pada tahun depan.

Perbandingan lain, kata Benny, pada kwartal kedua pertumbuhan ekonomi Jepang hampir stall (tidak bergerak sama sekali), yang hanya tumbuh 0,2 pada kuartal II tahun 2016. Melambat drastis dari kuartal pertama yang berada pada angka 2 persen. Permintaan akan produk Jepang dari Amerika Serikat dan Eropa telah berkurang demikian juga permintaan dari China.

"Sama halnya pertumbuhan ekonomi China berada dalam kondisi stagnan pada 6,7 persen, tidak berubah dari pertumbuhan pada kuartal pertama, padahal para analis pasar telah memprediksi sebelumnya bahwa pertumbuhan eknomi China akan turun ke angka 6,6 persen pada kuartal kedua ini," katanya.

Sementara itu pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat hanya mencapai 1,2 persen lebih besar dari kuartal sebelumnya pada 0,8 persen, walaupun hal tersebut terlihat meningkat, namun angka tersebut tidak menunjukkan/menguntungkan bagi tumbuhnya ekonomi dunia. Demikian juga bagi Indonesia, karena pertumbuhan impor dari Amerika Serikat justru turun 0,4 persen dari kuartal pertama.

Di lain pihak, IMF maupun Bank Dunia memprediksi pertumbuhan ekonomi dunia tumbuh lebih besar 0,1 persen dari prediksi mereka tahun 2016 dan angka ini bukan merupakan jaminan bahwa ekonomi dunia akan segera membaik.

"Kendati nilai tukar rupiah dan indeks harga saham dalam negeri akhir-akhir ini membaik, namun semua itu hanya nilai artifisial atau buatan serta penuh dengan spekulasi yang sewaktu-waktu bisa berubah," katanya.

Kondisi ini, menurut Benny, tidak akan menjamin bahwa ekonomi Indonesia akan membaik dalam waktu dekat, karena nilai artifisial yang tercantum dalam angka-angka rupiah dan harga-harga saham tersebut tidak melekat pada nilai real dari kondisi sebenarnya di pasar, atau lebih cenderung melekat kepada harapan yang penuh spekulatif.

Oleh karena itu, kata Benny, saatnya Indonesia harus bangkit menciptakan pertumbuhan ekonomi secara mandiri.