Manis Getir Pengabdian di Sekolah Belantara Riau

id manis getir, pengabdian di, sekolah belantara riau

Manis Getir Pengabdian di Sekolah Belantara Riau

Mimpi berawal dari seorang guru yang mempercayaimu, yang menarik, mendorong, membawamu ke dataran tinggi, kadang ia menusukmu dengan tombak tajam bernama, Kebenaran.

Kata-kata mutiara dari jurnalis legendaris asal Amerika Serikat, Dan Rather, di atas rasanya bisa menggambarkan pengabdian guru di dalam belantara Kawasan Suaka Margasatwa (KSM) Bukit Rimbang Baling di Kabupaten Kampar, Riau. Mereka adalah "penjaga mimpi" anak-anak dipedalaman untuk menjangkau cita-cita mereka lewat institusi pendidikan.

Puluhan anak-anak berkumpul di SDN 016 di Desa Pangkalan Serai yang berada di "jantung" Kawasan Suaka Margasatwa Bukit Rimbang Baling di Kabupaten Kampar, Riau pada pertengahan Agustus 2016. Bangunan tua beratap seng itu lantainya sudah rusak sehingga bercampur dengan tanah yang berdebu.

Seorang bocah bernama Nay, berkisah tentang cita-citanya di tengah kawan-kawannya. "Cita-cita saya mau jadi dokter," kata bocah itu dengan semangat.

Seorang lelaki berseragam coklat muda mendengarkan dengan seksama sambil tersenyum. Dia adalah Abu Hanifah, Kepala Sekolah SDN 016 yang sudah mengabdi 16 tahun disana. "Saya senang anak-anak sangat semangat bersekolah. Itu yang jadi hiburan buat saya," ujarnya.

Pria berusia 44 tahun ini kemudian menuju sebuah bangunan tua tak jauh dari ruangan kelas. Itu adalah rumah dinas tempat Abu Hanifah bersama isteri dan seorang anaknya yang belum berusia lima tahun tinggal. Rumah berukuran 16 x 9 meter itu sudah lapuk dengan plafon yang bolong, dindingnya ada lubang besar berdiamter 60 centimeter dan catnya sudah kusam dimakan usia.

"Saya kepala sekolah, tapi juga merangkap guru dan penjaga sekolah," kata Abu Hanifah.

Ia menjelaskan sekolah itu berdiri sejak tahun 1980 dan sekali direnovasi pada 2004, kecuali bangunan rumah dinas kepala sekolah dan guru. SDN 016 adalah satu-satunya sekolah di Desa Pangkalan Serai, yang merupakan satu dari 11 permukiman penduduk yang terisolir di KSM Bukit Rimbang Baling.

Lokasi desa itu berada paling ujung di hulu Sungai Subayang, yang hanya bisa dijangkau dengan perahu. Tidak ada layanan telekomunikasi apalagi listrik PLN. Yang ada hanya pembangkit listrik mikrohidro sejak tahun 2000, yang selalu mati selama musim kemarau karena kekurangan air.

Meski sekolah itu berada dipedalaman, lanjutnya, para orang tua bersemangat untuk menyekolahkan anak mereka. Mayoritas warga yang bertani karet berupaya keras memenuhi kebutuhan seragam, sepatu dan buku. "Bahkan, anak yang sekolah tidak boleh membantu orang tua berkerja dikebun. Fokus ke sekolah saja," ujarnya.

Jumlah murid disekolah itu kini berjumlah 55 siswa dari kelas satu hingga enam. Sekolah itu tidak memungut biaya pendidikan, karena operasionalnya mendapat Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dari pemerintah. Setiap anak yang sudah lulus harus bersekolah ke desa lain yang ada SMP di bagian hilir Sungai Subayang.

Abu Hanifah mengatakan pihak sekolah berjuang semaksimal mungkin mengajar di tengah kondisi serba kekurangan. Tidak ada alat peraga untuk membantu pelajaran biologi di sekolah itu, dan juga tak ada perpustakaan. Kekurangan yang paling besar adalah tenaga pengajar guru, yang hanya berjumlah enam orang termasuk kepala sekolah.

Seorang guru harus mengajar satu kelas untuk semua mata pelajaran mulai dari bahasa Indonesia, matematika sampai pelajaran olahraga. Yang tidak ada sama sekali adalah guru bahasa inggris. Ia mengatakan seluruh guru di sekolah itu berstatus honor komite dan rata-rata lulusan SMA. Mereka mendapat honor sebesar Rp950 ribu per bulan, yakni Rp400 ribu dari Pemkab Kampar dan sisanya ditanggung oleh sekolah.

"Tidak ada guru PNS yang mau mengajar disini karena gajinya kecil dan lokasinya terpencil. Karena itu, saya mengangkat guru honor komite yang semuanya dahulu anak murid saya sendiri," katanya.

Ia mengatakan Pemkab Kampar sebenarnya punya program tunjangan untuk guru di daerah sulit seperti di SDN 016, sebesar Rp500 ribu per orang tiap bulan. Namun, sudah hampir delapan bulan terakhir tunjangan itu tak kunjung cair, padahal itu akan sangat berarti guna menambah penghasilan guru.

"Tunjangan itu pun hanya empat guru yang dapat. Entah bagaimana bisa seperti itu, padahal kami usulkan semuanya dapat. Jadi kalau nanti cair, tunjangan untuk empat orang itu dibagi rata ke semua guru," katanya.

Ia merasa yakin Indonesia sebenarnya tidak kekurangan guru, namun mereka lebih banyak berkumpul di kota besar. Akibatnya, sekolah dibelantara dan pedalaman seakan dipinggirkan. Namun, bagi Abu Hanifah, pengabdian bagi warga pedalaman lebih penting ketimbang promosi jabatan.

"Saya seharusnya per April lalu sudah pindah jadi kepala sekolah di tempat lain. Tapi karena tidak ada yang mau jadi kepala sekolah menggantikan saya disini, terpaksa saya memilih bertahan," katanya.

Ketiadaan jaringan telekomunikasi dan transportasi yang memadai menjadi tantangan besar untuk mereka di sekolah belantara. Ia mengatakan mereka selalu ketinggalan informasi penting karena seperti terisolir dari dunia yang kini serba canggih. "Sekarang ini banyak pengumuman cukup pakai SMS telepon seluler, tapi itu tak bisa disini. Kami seringnya dapat kabar dari orang yang berangkat dengan perahu dari hilir, makanya kabar baru sampai tiga hari setelahnya," keluh Abu.

Abu mengisahkan kerap kelimpungan ketika diminta memasukan data siswa maupun rencana kerja dan anggaran (RKA) tahunan karena harus membawa berkas langsung ke instansi dinas pendidikan di kota. Untuk menuju kantor Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kampar di Kota Bangkinang, Abu harus menggunakan perahu dengan membayar ongkos Rp300 ribu-Rp400 ribu melintasi Sungai Subayang, dilanjutkan dengan perjalanan naik mobil travel sejauh sekira 200 kilometer.

"Untuk menuju kantor dinas pendidikan tidak bisa sehari sampai pulang-pergi, pasti harus bermalam di Kota Pekanbaru. Biaya yang dikeluarkan tidak sebanding dengan biaya perjalanan dinas dari pemerintah, akibatnya sering nombok pakai uang pribadi," katanya.

Abu bahkan tidak tahu perkembangan terbaru tentang dunia pendidikan yang sedang ramai membahas rencana sekolah seharian atau "full day school". Ia juga tidak sanggup bermimpi sekolahnya bisa menerapkannya. "Dengan kondisi sekolah, jumlah guru dan keadaan yang serba sulit seperti ini, rasanya itu mustahil," ungkap Abu.

Seorang guru honor disekolah itu, Sariyus Andelia, justru malah takut kalau kebijakan "full day school" akan mengurangi penghasilannya. Sebabnya, setiap siang usai jam sekolah, perempuan berhijab itu mencari penghasilan tambahan sebagai guru mengaji di Madrasah Diniyah Awalilah (MDA) setempat dengan honor Rp300 ribu per bulan.

"Saya takut tenaga saya yang tak kuat," katanya.

Meski dihadapkan dengan segala kesulitan mengajar itu, Sariyus tetap akan terus mengabdi untuk pendidikan warga di daerah pedalaman. "Saya ingin anak-anak disini bisa cerdas karena pendidikan adalah kunci untuk memajukan kehidupan," katanya.

Sementara itu, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Riau menyatakan belum semua sekolah di daerah itu mampu menerapkan sistem sekolah sehari penuh atau "full day school" karena terkendala prasarana dan kondisi geografis.

"Wacana sekolah satu hari penuh ini dengan lima hari kerja akan kita lakukan pengkajian. Dimana disurvei sekolah mana yang bisa melaksanakan atau belum karena terkendala prasarana dan kondisi geografi. Perlu penyesuaian sambil kita benahi kekurangannya," kata Kepala Disdikbud Riau, Kamsol, di Pekanbaru.

Menurut dia, pada 2015 wacara serupa dengan "full day schoo" juga pernah dicanangkan, yakni sekolah selama lima hari dalam sepekan. Namun, ia mengatakan hal itu belum bisa ditindaklanjuti karena ada beberapa persoalan seperti banyaknya sekolah yang menerapkan sistem "double shift" berupa kelas pagi dan sore. Namun, untuk wacana Mendikbud kali ini, pihaknya tetap menunggu regulasinya.

"Yang penting jam proses belajar mengajar terpenuhi dan sekolah menjadi tempat yang menyenangkan bagi anak dalam mengikuti proses pendidikannya. Karena sekolah rumah kedua bagi anak-anak," sebutnya.

Ia mengatakan, sepertiga waktu produktif bagi anak-anak berada di sekolah bisa membantu tumbuh kembang anak di lingkungan yang baik. Hal ini dapat menbentuk karakter yang cerdas, berakhlak mulia, dan berbudi pekerti luhur sesuai dengan tujuan pendidikan nasional.

"Kita bukan hanya mencetak generasi yang jenius dan orang pintar. Tetapi kita mendidik anak bangsa untuk menjadi anak yang cerdas sebagai estafet meneruskan perjuangan membangun bangsa yang sejahtera dan beradab, " sebutnya.

Pewarta :
Editor: Febrianto Budi Anggoro
COPYRIGHT © ANTARA 2016