KontraS: Penerbitan SP3 Menciderai HAM

id kontras penerbitan, sp3 menciderai ham

KontraS: Penerbitan SP3 Menciderai HAM

Pekanbaru (Antarariau.com) - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) meminta sesegera mungkin dilakukan audit hak asasi manusia dalam kasus kebakaran hutan dan lahan, serta menjamin tersedianya akses pemulihan yang efektif bagi sejumlah korban pelanggaran tersebut.

"Belum diberikan akses pemulihan yang efektif bagi sejumlah korban pelanggaran HAM akibat kasus kebakaran hutan dan lahan dalam upaya memenuhi hak-hak konstitusional yang dimiliki oleh warga negaranya," kata Koordinator KontraS Haris Azhar melalui pesan elektronik diterima di Pekanbaru, Selasa.

Hal ini, lanjutnya, secara jelas menciderai rasa keadilan yang dimiliki masyarakat, khususnya warga Riau yang menjadi korban kejahatan pembakaran hutan dan lahan. Hal ini semakin dirasa tidak adil setelah terbitnya surat perintah penghentian penyidikan (SP3) terhadap 15 kasus pembakaran hutan yang melibatkan korporasi oleh pihak Kepolisian Daerah (Polda Riau).

Untuk itu, pihaknya juga mendesak Kepolisian Republik Indonesia (POLRI) untuk segera melakukan audit SP3 secara akuntabel dan transparan dengan melibatkan elemen masyarakat sipil di dalamnya. KontraS menilai, tindakan Polda Riau yang menerbitkan SP3 terhadap ke-15 perusahaan tersebut bertentangan dengan semangat menagih pertanggung-jawaban korporasi dalam kasus karhutla yang telah mengakibatkan belasan orang meninggal dunia dan ratusan lainnya mengalami kerugian akibat pelanggaran hak atas lingkungan yang baik dan sehat.

Alasan Polda Riau menerbitkan SP3 dikarenakan adanya sengketa lahan antara perusahaan dan warga juga menurutnya terkesan dibuat-buat dan sangat dipaksakan. Pada kenyataannya dilapangan, lahan yang disebut mejadi objek sengketa tersebut jelas-jelas digunakan dalam menjalani kegiatan usaha yang dilakukan oleh pihak perusahaan selama ini.

"Terlebih terdapat fakta yang menguatkan kesan saling lempar tanggung-jawab antara pihak Polda Riau dan Kejaksaan Tinggi dalam proses tersebut," ujarnya.

Padahal, kata dia, secara jelas Pasal 88 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) juga menyebutkan bahwa: "Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya ¿ menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan".

Berdasarkan pasal tersebut, dikatakannya sudah semestinya Polda Riau menggunakan konsep pertanggung-jawaban mutlak (strict liabillity) terhadap korporasi pelaku kejahatan pembakaran hutan dan lahan. Selain itu, sebut dia, mandulnya penegakan hukum dalam kasus kebakaran hutan dan lahan yang berkaitan dengan korporasi, juga menunjukkan lemahnya kualitas penyidikan yang dilakukan.

Hal itu karena pola-pola penyidikan masih bersifat kaku dan hanya terpaku pada pemenuhan syarat formil belaka. Oleh karena itu dengan memanfaatkan perkembangan teori-teori hukum, aparat penegak seharusnya dapat mewujudkan penyidikan yang progresif dalam kasus kebakaran hutan dan lahan.