Balai TNTN Tolak Akomodasi "Enclave" Permukiman Warga

id balai tntn, tolak akomodasi, enclave permukiman warga

Pekanbaru, 24/12 (ANTARA) - Kepala Balai Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) Hayani Suprahman menyatakan tidak akan mengakomodasi permintaan "enclave" (pelepasan kawasan) di habitat gajah sumatera tersebut, meski di dalamnya terdapat permukiman dan perkebunan warga. "Tidak akan enclave. Karena sekali enclave, yang lainnya nanti akan meminta hal yang sama," kata Hayani Suprahman kepada ANTARA disela konsultasi publik membahas zonasi TNTN di Pekanbaru, Riau, Kamis. Pembahasan zonasi kawasan konservasi itu belum menemukan titik terang mengenai status permukiman warga di Desa Bagan Limau, Kecamatan Ukui, Kabupaten Pelalawan. Daerah administrasi desa tersebut hingga kini masih tumpang tindih dengan kawasan taman nasional. Hayani menjelaskan, masalah tumpang tindih dua kawasan itu bermula saat Pemerintah Kabupaten Pelalawan menerbitkan Peraturan Daerah (Perda) perluasan Desa Air Hitam menjadi Desa Bagan Limau pada 2007. Sebabnya, lanjut Hayani, sekitar 99.5 persen dari daerah administrasi desa perluasan yang mencapai 12 ribu hektar ternyata berada di dalam TNTN. Padahal, kawasan konservasi tersebut sebelumnya telah ditetapkan lebih dulu menjadi Taman Nasional Tesso Nilo melalui SK Menteri Kehutanan pada tahun 2004. Ia juga mengatakan luas desa yang mencapai 12 ribu hektar seperti yang tercantum dalam Perda perluasan desa tersebut sangat berlebihan. "Masak desa saja luasnya sampai 12 ribu hektar, ini kan aneh," ujarnya. Pembahasan mengenai masa depan status Desa Bagan Limau mengalami kebuntuan karena tidak ada satu pun pewakilan dari Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Pelalawan memenuhi undangan dalam konsultasi publik itu. Meski begitu, Hayani mengatakan Balai TNTN telah berulangkali menyurati pemerintah setempat, Gubernur Riau dan Departemen Kehutanan agar Perda perluasan desa itu dievaluasi. "Sampai sekarang belum ada hasil yang jelas dari Pemerintah Kabupaten Pelalawan," ujarnya. Kepala Bidang Perencanaan Dinas Kehutanan Kabupaten Pelalawan, Sigit Irawan, mengatakan pihaknya tidak pernah dimintai pendapat oleh instansi terkait dalam pembahasan Perda perluasan Desa Bagan Limau. Ia menduga Perda tersebut hanya menjadi legitimasi terhadap aktivitas oknum tertentu untuk mengambil keuntungan dari perkebunan kelapa sawit yang kini berada di dalam kawasan konservasi. "Perda dimanfaatkan untuk legalisasi kegiatan yang tidak diperbolehkan di dalam taman nasional," kata Sigit tanpa mau menyebutkan oknum tersebut. Sementara itu, perwakilan dari warga Desa Bagan Limau Lahmudi Harapah mengaku cukup kecewa karena belum ada kepastian mengenai nasib desa mereka. Ia mengatakan masalah tumpang tindih kawasan tersebut selama ini telah meresahkan warga karena Desa Bagan Limau dihuni oleh sedikitnya 1.300 jiwa. "Bagaimana saya mau menjelaskan ke warga hasil pertemuan ini nantinya," ujar Lahmudi. Zona Khusus Kepala Balai TNTN Hayani Suprahman menambahkan, bahwa terdapat pilihan mengenai status Desa Bagan Limau yakni memasukkannya ke dalam zona khusus. Penentuan zona khusus tersebut dapat dilakukan di daerah pusat permukiman yang didalamnya juga terdapat fasilitas umum dan sarana telekomunikasi. Sedangkan perkebunan warga, lanjutnya, bisa dimasukkan ke zona pemanfaatan. Meski begitu, lanjutnya, bukan berarti seluruh 12 ribu hektar daerah administasi desa dijadikan zona khusus dan pemanfaatan di dalam kawasan taman nasional yang mencapai 83 ribu hektar. Ia mengatakan pihaknya hanya bisa mengakomodasi luasan sekitar 1.200 hektar saja, sedangkan sisanya akan dimasukan ke dalam zona inti yang harus dilindungi. "Luas administasi bisa saja diakui, tapi pengelolaannya tetap mengikuti aturan zonasi yang nanti ditetapkan," katanya.