Sawahlunto, Kota Tua nan Menawan

id sawahlunto kota, tua nan menawan

Sawahlunto, Kota Tua nan Menawan

SAWAHLUNTO, nama kota yang terdengar aneh namun berkesan dan memiliki makna yang mendalam. Dahulu kala, menurut sesepuh kota yang terletak sekitar 95 km dari Padang, ibukota Provinsi Sumatera Barat, dan 80 km dari kota wisata Bukittinggi ini, Sawahlunto merupakan kota megah di era penjajahan Belanda, tepatnya pada tahun 1820. Tanda-tanda kemegahan Sawahlunto masih tercium, dengan adanya gedung - gedung megah nan kuno, namun tetap memiliki makna. Salah satu contoh, rumah kediaman Wali Kota Sawahlunto. Dulu, bangunan tua itu merupakan tempat persinggahan para petinggi Belanda juga markas tentera Belanda serta gudang senjata. Pada tahun 1960, gedung tersebut di resmikan sebagai museum. Layaknya pisau nan tumpul, gedung dengan pesanggahan bak istana itu seakan tidak termanfaatkan. Baru pada tahun 1965, gedung dengan dinding berwarna putih itu di jadikan hunian para pejabat daerah, hingga pada tahun 2003 sampai dengan Januari 2010 ini, gedung megah di huni oleh Wali Kota Amran Nur. Berjarak berjarak sekitar 200 meter darikediaman wali kota di atas bukit sebelah barat juga ada gedung yang tidak kalah tuanya, dengan nilai sejarah yang juga tidak kalah. Gedung satu ini sekarang di fungsikan sebagai penginapan khusus bagi para tamu pemerintah, dengan luas dua kali lapangan badminton dan dengan halaman depan yang berada tepat di atas sebelah timur Kota Sawahlunto. Gedung tersebut di namakan Wisma W1, dengan fasilitas kamar sebanyak 12 dan ruang tamu klasik bertata ruang unik dengan corak plafon kotak - kotak dan hiasan lukisan yang berumur puluhan tahun. Keramik gedung tersebut juga masih tercium aroma jompo, dengan corak bintik coklat kehitaman yang di dominasi dengan warna putih kekuningan, namun tetap bersih terawat, tanpa bercak kotoran dan debu sekali pun. "Dahulu, gedung ini tempat persinggahan para tamu Belanda, dan peristirahatan para selir asing," tutur Juliar (48), salah seorang pria yang bertugas sebagai penanggungjawab kebersihan gedung berbentuk kotak itu. Melampaui tahun 1975 lalu, gedung dengan letak strategis tepat di atas bukit ini sempat pula di jadikan museum panorama, namun sama dengan gedung hunian wali kota, dengan fasilitator yang terbatas dan pengunjung yang amat jarang, membuat pemerintah merubah tatanan gedung tersebut, dan di jadikan penginapan para tamu domestik dan mancanegara. Silo Keindahan nan menawan, juga ada pada gudung tempat penumpukan hasil tambang batu bara, yakni berupa tiga buah bangunan yang di sebut Silo. Gedung berbentuk tabung raksasa yang di sanggah besi anker baja setinggi 40 meter serta di lengkapi dengan lima menara gardu yang menghubungkan gedung satu dengan gadung lainnya itu, walau sudah berumur ratusan tahun, namun tetap berdiri kokoh. Dengan dinding yang terlihat sedikit usang, bangunan unik itu kini telah menjadi landmark Kota Sawahlunto. Bukan itu saja, lapisan besi konon kabarnya belum pernah sama sekali di lakukan pengecatan setelah terakhir dilakukan pengecatan pada tahun 1968. Yang mencengangkan, jika melirik lamun di tiga menara berbeda itu, maka akan timbul rasa kesan yang mendalam, dimana besi tua berumur ratusan tahun yang menyangga triple bangunan itu masih tampak kokoh dan berwarna clasik nan menawan, karena coraknya yang berkenan di mata setiap turis yang mengunjunginya. Triple bangunan Silo juga di kelilingi dengan drainase yang lebarnya 40 cm. Di tepi sebelah utara, tepat di belakang Silo, tampak perbukitan yang menjulur tinggi hingga mencakar langit, karena mencapai awan. Jika di amati, awan tersebut membentuk sebuah cincin yang menggulung di sertai sinar mentari yang redup berwarna orange. Keindahan nan menawan pada bangunan Silo, jelas terlihat pada pagi dan senja, dimana pada gumpalan awan yang membentuk cincin tersebut, tepat di belakangnya, matahari terbit dan memantulkan cahaya yang terpecah, bak sebuah berlian cincin yang memantulkan cahayan nan indah. Tidak kalah indahnya, pantulan cahaya mentari pada senja hari seakan redup dan membuat kota berpenghuni lebih dari 100 ribu jiwa dengan beragam jenis suku budaya ini seakan menikmati gerhana matahari setiap harinya, fenomena alam itu selalu di tunggu masyarakat, khususnya pendatang setiap pukul 17.00 s/d 18.30 WIB. Museum Kereta Api Tidak jauh dari Silo, terdapat Museum Kereta Api, yang berjarak sekitar 500 meter dari bangunan triple atau 300 meter dari kediaman wali kota. Bangunan ini juga tidak kalah uniknya, dan masih menawan hati, kerana insfrastruktur yang lagi - lagi klasil alias "jadul". Berdasarkan cerita warga setempat, bangunan ini dulunya merupakan stasiun kereta api yang di bangun pada tahun 1918. Setelah kurang 90 tahun berlalu, tepatnya Desember 2003, stasiun tersebut tidak lagi difungsikan karena tambang batu bara melakukan pengalihan transportasi. Baru pada tahun 2005, bangunan dengan pesangah tiang kayu berlapis besi, dinding datar berwarna hijau, serta atap dengan desain selayang datar di tambah dengan gerbong kereta yang masih asli ini diresmikan sebagai Museum Kereta Api. Yang lebih menakjubkan, pada Februari 2009, Museum Kereta Api itu difungsikan lagi sebagai stasiun karena ada sebuah kereta mini berkapasitas maksimal 60 orang dengan jarak tembuh 2 X 300 meter. Kereta Api mini yang biasa di sebut "Mak Itam" itu, sengaja diadakan oleh Pemda Sawahlunto untuk memanjakan para turis domestik dan mancanegara yang ingin menyaksikan pemandangan alam nan sejuk serta gedung jadul nan menawan. Lintasan kereta api membujur kearah 200 meter dari perbukitan, dan 100 meter ke arah layang perkotaan dengan pembatas yang masih menggunakan kayu yang kokoh berlapis baja setinggi 40 cm dari permukaah bumi. Sisa bongkahan tambang batubara juga masih jelas tampak di museum ini, serpihan sisa tambang sengaja tercecer di lintasan tersebut, sehingga terkesan di zaman yang sama pada awal di bangunnya stasiun kereta api. Keunikan kereta modern Mak Itam yang menjadi transportasi dambaan para pendatang ini, jika di amati mirip dengan kereta badut yang kerap mangkal di setiap ibukota, termasuk Pekanbaru. Pada hiasaan depan kereta api, terpampang sebuah patung kayu berukir berbagai jenis kartun dan badut, corak warnanya terkesan unik dan membuat setiap pendatang yang melihatnya selalu tersenyum aneh dan ingin segera melakukan perjalanan dengan Mak Itam. Untuk saat ini, Mak Itam beroprasi khusus hari Minggu, karena keterbatasan pengunjung yang merambah kota Sawahlunto. "Dahulu kala, Sawahlunto di banjiri para wisatawan, tapi sejak di guncang gempa 7,9 Skala Richter beberapa bulan lalu, wisatawan menyusut drastis," ungkap Waldo (20), seorang pria yang mengaku sebagai pengelola Mak Itam. Melintasi Museum Kereta Api dan kereta Mak Itam, tepat 400 meter sebelah tenggara, terdapat sebuah gedung dengan desain infrastruktur yang dahsyat. Gedung megah ini adalah Masjid Agung Sawahlunto. Diantara tebing gedung bercorak dongker kecokelatan ini, tampak dua buah kubah raksasa, dengan dia meter yang luasnya melebihi kubah mesjid Agung Annur, Pekanbaru. Di sisi depan masjid yang dahulunya merupakan bangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) milik pemerintah Belanda ini, terbentang halaman yang tertata rapi dan bersih. Taman itu jika di amati berbentuk persegi, dengan luas sekitar seperempat lapangan sepak bola. Hiasan pagar berwarna putih serta tanaman tertata elok, seakan menghiasi gedung tempat peribadatan umat muslim itu. Yang lebih mengagumkan lagi, jika melirik ke pusaran langit yang berada di atas masjid Agung, maka tampak sebuah menara pencakar langit yang menjuntai setinggi 75 meter. Dahulunya, menara ini merupakan menara cerobong asap sisa pembakaran PLTU. Setelah memasuki tahun ke 50 pasca revolusi, menara ini di jadikan menara masjid Agung Sawahlunto. Kota Wisata Tambang Berbicara keunikan, dan keindahan kota Sawahlunto nan menawan tidak ada habisnya, karena kota yang saat ini di juluki dengan kota wisata tambang berbudaya ini memiliki ratusan, bahkan ribuan keunikan mulai dari gedung, panorama, serta cerita bak dongeng jadul yang panjang jika di ceritakan dalam tulisan ini. Sekilas sejarah panorama Sawahlunto, adalah strategis kota yang berada di dataran tinggi dan berada tepat di tengah bukit barisan yang mengelilinginya, jika di pandang dari jarak jauh, maka persis kota tambang ini berbentuk seperti kuali tanpa kompor. Selain itu, jika di lihat secara astronomis, Sawahlunto berada pada 0,34 - 0,46 Lintang Selatan, dan 100,41 - 100,49 Bujur Timur, dengan ketinggian yang mencapai 250 - 650 meter di atas permukaan laut, sehingga suhu udaranya tergolong dingin, yakni 22,5 - 27,5 derajat Celcius dengan curah hujan rata - rata 1.027 mm. Warga sekitar juga meyakini, jika Sawahlunto merupakan kota mistik beraroma positif. "Disaat gempa kemarin, satu gedung pun tidak ada yang runtuh, bahkan retak atau rusak pun tidak ada," kata ALi (46) seorang warga. Saat musim hujan datang mengguyur Sawahlunto, perbukitan tetap menjadi sahabat. Padahal, jika dilihat secara nyata, bukit dengan tinggi di atas 100 meter tersebut relatif curam, dengan kemiringan lebih dari 40 persen, sehingga sangat besar kemungkinan terjadinya longsor apabila hujan yang melanda wilayah itu lebat dengan durasi yang relatif lama. Baguyuban bercerita, konon katanya, Sawahlunto merupakan batas daerah yang paling menarik dan kaya raya. Era penjajahan terus silih berganti memperebutkan tambang batu bara yang tidak kenal habis. Mulai dari zaman penjajahan Portugis hingga Belanda. "Semua gedung dan bangunan ini sudah di jaga oleh masing - masing penghuni yang tidak bisa di lihat dengan mata manusia," katanya. Siapa yang sangka, jika di balik keunikan kota dengan bangunan tuanya, serta bau mistik dengan aroma positif, masyarakat Sawahlunto juga memiliki kebiasaan yang menarik, salah satunya adalah berdagang BBM, mulai dari premium hingga solar. Dengan mengenakan alat yang dirancang khusus untuk menakar secara otomatis, minyak yang di salurkan ke setiap unit kendaraan yang menampang tepat di sebelah tangki mini jenis drum hingga berjarak 3-4 meter, tercurah rapi dan tersaring bersih. Menurut kiasan cerita warga setempat, kelebihan SPBU ini adalah dapat menakar dengan akurat, dengan cara menghubungkan pipa ke bibir tangki kendaraan. Untuk selanjutnya, sang pemilik SPBU mini tersebut kemudian memutarkan tangannya kearah depan dengan cara menggait stir dongkrak yang telah disiapkan sebelumnya. Itu sebabnya, SPBU mini dengan mudahnya ditemukan dikota nan molek ini.***