Memberi Ruang Untuk "Datuk Belang"

id memberi ruang, untuk datuk belang

Memberi Ruang Untuk "Datuk Belang"

Kehadiran harimau Sumatera selama tiga bulan terakhir di Desa Tanjung Sari di Kabupaten Indragiri Hulu, Riau, membuat desa itu senyap dan mencekam. Penduduk Desa Tanjung Sari kini harus ekstra hati-hati terutama saat harus keluar rumah di malam hari, atau pun sekedar untuk beribadah di surau pada petang hari. "Warga resah karena harimau sering melintas di kampung. Bahkan, kotorannya pernah ditemukan di dekat surau," kata Kepala Desa Tanjung Sari, Misnanto, awal Februari lalu. Misnanto mengatakan bahwa harimau Sumatera (panthera tigris sumatrae), yang kerap disebut warga setempat dengan "Datuk" atau "Datuk Belang", awalnya mulai terlihat di perkebunan milik warga. Hal itu terjadi setelah banjir mulai melanda daerah tersebut pada akhir tahun lalu. Ia mengatakan satwa liar tersebut telah memangsa sejumlah anjing yang dipelihara warga. Namun, hingga kini belum ada ternak dan warga yang menjadi korban. Berdasarkan data WWF Riau, terdapat tiga kasus konflik antara harimau dan manusia yang terjadi di Riau selama 2009. Jumlah tersebut menurun dari tahun 2008 yang mencapai lima kasus, bahkan jauh berkurang dari tahun 2006 yang tercatat mencapai 15 kasus dan mengakibatkan tiga orang terbunuh. Meski begitu, menurunnya jumlah konflik bukan berarti keduanya sudah mulai bisa hidup berdampingan dengan damai, melainkan diduga kuat karena berkurangnya populasi harimau. Sebabnya, jumlah harimau Sumatera yang ditemukan mati terbunuh oleh manusia pada tahun 2009 mencapai empat ekor, lebih banyak dari kasus kematian harimau pada tahun 2008 yang hanya mencapai satu ekor. "Ancaman terbesar dari konservasi harimau adalah kehilangan habitat dan perburuan," kata Manager Program WWF Wilayah Riau, Suhandri. Kebutuhan manusia akan ruang untuk pembangunan, permukiman, dan perkebunan dinilai menjadi salah satu aspek yang tidak bisa dihindari sehingga hutan sebagai habitat bagi harimau terus berkurang. Laju pembabatan hutan alam di Riau terjadi sangat cepat, diperkirakan rata-rata mencapai 160 ribu hektar setahun, mengakibatkan luas hutan yang sebelumnya mencapai 4,6 juta hektar pada 1986 tinggal menyisakan kurang dari dua juta hektar sekarang. Ironisnya, lanjut Suhandri, konversi hutan untuk perkebunan akasia dan perkebunan kelapa sawit kerap kali dilakukan dengan sangat tamak tanpa mengindahkan fungsi keberlanjutannya untuk menjaga habitat satwa. Ia mencontohkan sekitar 20 persen perkebunan kelapa sawit besar di Riau tidak memiliki izin HGU (hak guna usaha). Selain itu, sekitar 95 persen perkebunan masyarakat yang dikelola swadaya tidak punya izin perkebunan dari dinas perkebunan. Hal tersebut jelas mengancam keberadaan harimau yang sudah tergolong spesies terancam punah (critical endangered species) dan populasinya di Riau diperkirakan tinggal 30 ekor. Alhasil, konflik satwa liar dan manusia terus terjadi yang berujung pada kematian dan kepunahan species seperti yang telah terjadi pada harimau Jawa. Ancaman dari hilangnya habitat dan perburuan tidak sebanding dengan kemampuan harimau untuk berkembang biak. Seekor harimau betina diperkirakan bisa hidup di alam liar selama 15 tahun. Selama masa hidupnya, tiap individu hanya bisa melahirkan sebanyak tiga kali. Parahnya lagi, cuma dua ekor anak harimau yang maksimal bisa bertahan hidup sampai dewasa. "Dengan kondisi ancaman yang ada sekarang, harimau Sumatera di Riau diperkirakan bisa punah lima tahun lagi. Hal itu bisa berawal dari kepunahan ekosistem, di mana harimau yang tersisa tidak memungkinkan lagi untuk berkembang biak," kata Koordinator Monitoring Perdagangan Satwa WWF Riau, Osmantri, menambahkan. Penegakan Hukum Lemah Osmantri mengatakan, lemahnya penegakan hukum menjadi penyebab sulitnya memberantas perburuan harimau. Selama kurun waktu 1998 hingga 2009, telah ada sebanyak 46 ekor harimau ditemukan mati akibat konflik dengan manusia dan perburuan. Artinya, bisa dikatakan rata-rata sebanyak tujuh ekor harimau mati di Riau setiap tahun. Namun, lanjut Osmantri, terjadi ketimpangan dalam proses pengusutan hukum terhadap pembunuhan satwa yang dilindungi di Riau. Hal itu dibuktikan karena hanya ada tiga kasus terkait perburuan harimau yang berakhir di pengadilan dalam periode waktu yang sama. Kasus perburuan dan pembunuhan harimau pernah disidangkan di Riau antara lain pada tahun 2001, 2004 dan 2009. Pada kasus terakhir, persidangan kasus perburuan dan pembunuhan harimau bertempat di Pengadilan Negeri Tembilahan, Kabupaten Indragiri Hilir. "Tapi bisa dikatakan hukuman yang dijatuhkan hakim tidak menimbulkan efek jera, karena semua vonis kepada pelaku hanya penjara selama setahun," katanya. Sebagai perbandingan, ujarnya, telah ada belasan kasus perburuan dan pembunuhan harimau yang maju ke meja hijau di Provinsi Jambi pada periode yang sama. Kualitas penegakan hukum di Riau juga paling rendah apabila dibandingan dengan penyelesaian kasus di Sumatera Utara pada 2009, yakni ketika pengadilan mejatuhi hukuman penjara dua tahun 10 bulan kepada seorang yang memperdagangkan harimau hidup. "Penegakan hukum terhadap perburuan dan pembunuhan harimau di Riau paling lemah dibandingkan daerah lain di Sumatera," ujarnya. Lemahnya penegakah hukum ditambah lagi dengan masih tingginya permintaan akan harimau, membuat Riau menjadi salah satu gerbang perdagangan harimau di Sumatera. Untuk perdagangan kulit harimau, ujar Osmantri, biasa menggunakan jaringan antarprovinsi yang terjalin sangat rapi dan sulit dilacak. Jaringan perdagangan itu kerap dilindungi oleh oknum pemerintah hingga pemodal besar yang bermuara di Singapura dan Malaysia. Ia memperkirakan hingga kini ada sedikitnya 24 pemburu harimau aktif yang menyalurkan hasil buruan ke 34 penampung dari yang kecil hingga penampung besar. Sedangkan, perdagangan bagian tubuh harimau seperti taring dan kuku bisa ditemukan dengan mudah karena berlangsung secara terbuka. Di Pekanbaru, ujarnya mencontohkan, sedikitnya ada sembilan toko emas dan dua toko obat China yang menjual bagian tubuh harimau dengan leluasa. "Pedagang emas ada yang memperlihatkannya di etalase seperti taring harimau untuk bandul kalung emas. Sedangkan, organ tubuh harimau dipercaya sebagai obat kejantanan pria di toko obat China, padahal khasiatnya itu sebenarnya tidak benar," kata Osmantri. Kepala Bidang Teknis Konservasi dari Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Riau, Syahimin, mengatakan perlu ada kepedulian dari semua pihak untuk mencegah harimau Sumatera dari kepunahan. Rantai perdagangan harimau, ujarnya, bisa dihabisi dengan kepedulian dari para pembeli untuk berhenti mengoleksi satwa liar tersebut. "Setiap pedagang yang menjual satwa yang dilindungi akan kami sita," katanya. Meski begitu, ia mengatakan untuk memberantas perdagangan jaringan satwa dilindungi tidaklah mudah. Syahimin mengakui kemungkinan adanya oknum dari instansi terkait yang terlibat dalam jaringan tersebut dan kerap membocorkan informasi setiap ada operasi penggerebekan di lokasi penjualan satwa liar. "Pernah kami bekerjasama dengan WWF untuk menggerebek lokasi penjualan bagian tubuh harimau. Tapi karena ada yang membocorkan, akhirnya kami gagal, padahal kami sudah mengeluarkan banyak biaya untuk operasi itu," kata Syahimin. Koridor Satwa Liar Mengenai perlindungan terhadap habitat satwa liar, Syahimin mengatakan BBKSDA Riau berencana untuk menetapkan koridor sebagai jalur perlintasan harimau dan gajah. Koridor tersebut akan menghubungkan sejumlah kawasan konservasi seperti Taman Nasional Bukit Tigapuluh, Kawasan Suaka Margasatwa Bukit Rimbang Baling hingga Kawasan Lindung Bukit Batabuh. Tidak tertutup kemungkinan, ujarnya, areal milik perusahaan yang berbatasan dengan kawasan konservasi masuk dalam rencana koridor satwa liar itu. Sebabnya, hutan alam terisa di Riau yang mayoritas merupakan kawasan konservasi tidaklah cukup sebagai habitat harimau untuk mencegah terjadinya konflik dengan manusia. "Sekitar 80 persen pergerakan satwa liar seperti harimau dan gajah berada di luar kawasan konservasi dan kerap menimbulkan konflik dengan manusia," katanya. Salah satu cara yang bisa dilakukan perusahaan untuk merealisasikan koridor satwa liar adalah dengan menjaga kelestarian hutan sedikitnya sekitar 500 meter di sepanjang bantaran sungai yang mengalir di dalam areal perusahaan. Tujuannya adalah agar daerah itu bisa menjadi ruang atau lintasan untuk mencari makan satwa liar seperti harimau dan gajah. "Namun, sejauh ini kami agak sulit meminta komitmen dari perusahaan karena hampir semua hutan di tepian sungai ditebang habis untuk ditanami kepala sawit dan akasia," ujarnya.