Menanti Maestro Melayu-Jazz Keluar dari Persamadian

id menanti maestro, melayu-jazz keluar, dari persamadian

Menanti Maestro Melayu-Jazz Keluar dari Persamadian

Pekanbaru, (Antarariau.com) - Nama Eri Bob seolah hilang ditelan bumi, setelah pada awal millenium ke-3 sempat mengharumkan nama Provinsi Riau diblantika musik nasional lewat band "Geliga", yang sukses mengawinkan musik tradisi melayu dan jazz.

Namun, seperti perumpamaan klasik: "old soldiers never die, they just fade away", Eri Bob sebenarnya masih aktif berkarya dan konsisten digenre musiknya.

Jemari pria asal Bengkalis ini terlihat masih lincah menghasilkan melodi indah dari kibor kesayangannya.

"Saya tidak tahu itu lagu apa, ketika saya didepan kibor semua meluncur begitu saja seperti air," kata Eri Bob ketika ditanya Antara tentang lagu yang ia mainkan secara spontan, pada awal Januari 2017.

Eri Bob lahir di Pulau Bengkalis, Riau, pada 51 tahun lalu dengan nama Heri Syahrial. Pembawaannya santai dengan logat melayu yang kental. Panggilan kecilnya adalah Eri Bok, baru ketika hijrah ke Kota Pekanbaru pada 1985, nama belakangnya berganti menjadi Bob.

"Waktu di Pekanbaru, orang saat itu susah nyebut huruf k. Jadi digantilah nama jadi Eri Bob, lebih keren juga kedengarannya," tuturnya sambil tertawa.

Mungkin tidak ada yang menyangka, pria yang suka humor ini adalah komposer musik yang langka. Ia adalah otak dibalik band Geliga, pionir yang mengkolaborasikan irama etnik melayu dengan musik jazz, yang notabene genre populer dari Amerika Serikat.

Bersama budayawan Riau bernama Yusmar Yusuf sebagai penulis liriknya, Geliga merilis album perdana bertitel "Instrumental Jazz Melayu Riau" (2002) yang direkam di Pekanbaru dan proses mixing di Malaysia.

Kemudian berlanjut ke album "Dang Bulan Nang Julang" (2007) dan "Tan Malaka" (2010).

Eri Bob adalah motor penggerak Geliga, sekaligus komposer semua karya kelompok musik itu. Ia kreator dalam perkawinan silang lintas budaya timur-barat dalam musik Geliga, yang membuat jazz jadi tidak terdengar terlalu berat, dan musik melayu jadi makin berwarna. Sampai kapan pun musik Geliga akan terdengar tetap segar nan unik ditelinga.

"Musik melayu jadi ada warna lain, lebih kaya ketika selama ini musik melayu pakemnya gitu-gitu aja. Dan (melayu-jazz) bisa diterima sama orang muda," katanya.

Tanpa hingar-bingar promosi album, karya Geliga mendapat respon positif dari penggemar jazz di tanah air. Sementara itu, di Kota Pekanbaru, musik mereka justru mendapat penolakan dari seniman senior Melayu-Riau saat itu.

"Saat album pertama ada kritik dari seniman senior, masak musik melayu digitukan. Tapi kami jadikan angin lalu, tak ambil pusing. Prinsip kita, gaya musik itu bagian dari budaya yang bisa berkembang seiring waktu," katanya.

Geliga makin dikenal dikancah musik jazz nasional setelah penampilan mereka di Java Jazz Festival 2007, kemudian konser Satu Bumi Beribu Bunyi, Bandung World Jazz yang pertama pada 2009, dan Malacca Strait Jazz Festival di Pekanbaru. Geliga juga pernah tampil di Festival Zapin Melayu, Festival Budaya Melayu, dan The World Malay Arts Celebration.

Memang agak sulit untuk menakar kesuksesan Eri Bob dengan Geliga kalau ukuran jumlah penjualan album jadi patokannya. Namun, tiga album Geliga adalah "masterpiece" yang disumbangkan oleh pelaku industri kreatif dari Riau untuk sejarah musik jazz Indonesia.

Dan setelah cukup lama vakum bersama Geliga, Eri Bob masih ada memendam asa untuk menuangkan kreativitas musiknya. Ia seperti sedang bersamadi distudio kecil disebelah rumahnya, menanti hingga saatnya tiba untuk mengeluarkan mahakarya yang indah. Ia ingin sekali membuat full album keempat bersama band yang sudah membesarkan namanya itu.

"Saya mulai semangat lagi sejak 2015, kalau dikumpulkan semua sampai 100 lagu dan bisa jadi tiga album," ucapnya.

Meski begitu, risau gelisah tak bisa ia sembunyikan bahwa pilihan musiknya bakal berujung dijalan sepi yang mungkin juga buntu.

(Bersambung)