50 Persen Dari Total CPO Ramah Lingkungan Dunia Diproduksi Indonesia

id 50 persen, dari total, cpo ramah, lingkungan dunia, diproduksi indonesia

50 Persen Dari Total CPO Ramah Lingkungan Dunia Diproduksi Indonesia

Pekanbaru (Antarariau.com) - Organisasi multi pemangku kebijakan untuk standarisasi kelapa sawit berkelanjutan, atau RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil), menyatakan Indonesia punya peran strategis dipasar minyak mentah sawit bersertifikat berkeberlanjutan dan ramah lingkungan, karena telah menyumbang 50 persen dari total produksi dunia.

Direktur RSPO Indonesia Tiur Rumondang, di Pekanbaru, Selasa, mengatakan peluang untuk mendapatkan keuntungan dari sertifikasi RSPO bagi pelaku usaha sangat besar dimasa depan, karena hingga kini dari total luas lahan sawit 3,24 juta hektare yang bersertifikat RSPO di dunia, setengahnya berasal dari Indonesia.

Sementara itu, permintaan dunia terhadap minyak nabati dari minyak mentah sawit (crude palm oil/CPO) sangat pesat mengalahkan komoditi lainnya seperti kedelai, "rapeseed", dan biji bunga matahari. Karena berbagai keunggulannya, lanjut Tiur, permintaan CPO dipasar global hingga November 2016 tercatat lebih dari 60 juta metrik ton.

"Di Indonesia hingga 2016 ada sekitar 1,8 juta hektare lahan sawit yang bersertifikat RSPO. Indonesia seharusnya bisa lebih berperan karena jumlah ini masih relatif kecil, hanya 10 persen dari total lahan sawit yang ada mencapai 10 juta hektare," kata Tiur Rumondang, pada seminar "Memperkuat Keberlanjutan Rantai Pasok Sawit Indonesia".

Tiur mengatakan kesadaran untuk mendapatkan sertifikasi RSPO di Indonesia mengalami tren pertumbuhan positif, dilihat dari luas lahan sawit yang bersertifikat berkelanjutan naik dibandingkan 2015, yang saat itu mencapai 1,46 juta Ha.

"Karena itu, RSPO kini melakukan pendekatan yang berbeda. Apabila sebelumnya kami banyak kegiatan di Jakarta saja, sekarang kami ingin lebih dikenal dilevel provinsi," ujarnya.

Dari total 1,8 juta Ha lahan sawit bersertifikasi RSPO di Indonesia, sekitar 30 persen atau setara 315.768 Ha berada di Provinsi Riau. Dari jumlah itu, produksi tandan buah segar sawit bersertifikat mencapai 5,73 juta ton, produksi CPO 1,27 juta metrik ton, dan kernel 313,4 ribu metrik ton.

Sementara itu, perusahaan pemegang sertifikat RSPO di Riau ada 10 grup perusahaan, dan 31 pabrik kelapa sawit bersertifikat RSPO, sedangkan lahan petani sawit kemitraan/plasma perusahaan mencapai 65.450 Ha.

"Ada juga di Riau petani sawit swadaya yang sudah mengantongi sertifikat RSPO, yakni Asosiasi Petani Sawit Swadaya Amanah dengan luas laan 1.048 Ha. Mereka adalah generasi kedua dan ketiga dari petani plasma yang sudah menyadari keuntungan dari sawit dan sertifikasi ini," katanya.

Ia mengatakan banyak keuntungan yang didapatkan dengan adanya sertifikasi berkelanjutan RSPO karena tingkat keterimaan pasar jadi lebih tinggi, terutama untuk pengguna produk di Uni Eropa. "Untuk petani swadaya, mereka jadi punya daya tawar yang lebih tinggi dan bisa mendapat harga yang tinggi juga karena hasil panen mereka sangat dibutuhkan," katanya.

Meski begitu, ia mengakui memang tidak mudah untuk mendapatkan sertifikasi RSPO karena ada delapan prinsip utama yang harus dipenuhi, dan apabila dijabarkan lagi ada 143 kriteria khusus. Delapan prinsip utama itu antara lain komitmen transparansi, memenuhi aspek hukum dan regulasi, komitmen finansial jangka panjang, mekanisme terbaik dalam praktik penanaman dan pemanenan, tanggung jawab lingkungan dan keanekaragaman hayati, kepedulian terhadap pekerja dan masyarakat sekitar, tanggung jawab terhadap pengembangan tanaman baru, serta komitmen untuk terus berkembang disektor perkebunan itu sendiri.

Sertifikat berkelanjutan RSPO berlaku selama lima tahun dan diaudit khusus tiap tahunnya.

"Untuk petani swadaya sudah ada yang mendapat sertifikasi RSPO, namun itu memang tidak semudah mendapat surat pengakuan. Awalnya adalah dari petani swadaya itu harus bisa mengelompokan diri," katanya sambil menambahkan munculnya RSPO merupakan kebutuhan karena sentimen global bahwa industri sawit identik dengan deforestasi, merusak keanekaragaman hayati dan kerap melanggar HAM warga tempatan.