Nasib Sang Patih Penjaga Rimba Puaka

id nasib sang, patih penjaga, rimba puaka

Nasib Sang Patih Penjaga Rimba Puaka

Usianya tak lagi muda. Keriput di wajah dan kerut pada semua bagian tubuhnya, menandakan kalau pria itu telah lama hidup dengan berbagai asam, garam, getir, dan pahitnya dunia. Meski telah berusia hampir seabad, namun tak menyurutkan niat dan upayanya dalam menjaga kawasan hutan yang menjadi tempat tinggalnya selama hayat masih dikandung badan. Patih Laman (90), begitulah orang mengenalnya, dan dia tetap bertahan hidup di rumah panggung yang terbuat dari papan beratapkan seng yang telah berkarat lapuk termakan usia. Potongan padi tua yang masih terikat teronggok di salah satu sudut rumah yang tak memiliki dinding pembatas itu. Sedangkan pakaian, rak piring, tilam dan kelambu berada pada bagian lain rumah bertangga itu. Walau bergelar Patih, namun rumah yang berada di bibir hutan rimba di Desa Sungai Ekok, Kecamatan Rakit Kulim, Kabupaten Indragiri Hulu, Riau itu tak ubahnya seperti gudang. Patih, merupakan gelar tertinggi yang diberikan kepada Laman, sebagai pimpinan tertinggi suku Talang Mamak, salah satu suku asli Riau yang masih menjaga adat di Bumi Lancang Kuning hingga kini. Bagi Talang Mamak, hutan dijadikan sebagai tempat untuk menjalankan adat dan mereka mengeramatkan hutan karena adat mereka hanya bisa dijalankan dengan adanya hutan. "Kami mengambil adat dari hutan seperti untuk pengobatan, perkawinan dan sebagainya," ujar Laman. Di kalangan aktivis lingkungan, sosok pria yang tergolong uzur itu dikenal sebagai pahlawan rimba, karena dia mampu menjaga paru-paru dunia selama puluhan tahun lamanya yang tak lain adalah hutan adat suku itu. Menyelamatkan hutan dengan maksud melestarikan adat telah mengantarkan sang Patih mendapatkan penghargaan dari organisasi lingkungan terbesar dunia, World Wildlife Fund (WWF) pada tahun 1999 di Kinibalu, Malaysia. Selang beberapa tahun kemudian pemerintah Indonesia melalui Presiden Megawati juga menghargai jasa sang Patih dalam melestarikan lingkungan dengan menganugerahkan Kalpataru kepadanya tahun 2003. Sang Patih sangat terkesan dengan penghargaan itu, sehingga ia menempelkan kedua foto ketika menerima kedua penghargaan itu saling berdekatan pada salah satu dinding rumah. Laman muda dikenal sebagai orang yang tak kenal kompromi, apalagi lobi-lobi politik sebagaimana yang dipertontonkan para wakil rakyat ketika paripurna dalam memilih opsi A atau C dalam megaskandal Bank Century. Jangan harap para pendatang bisa memuluskan niatnya, apalagi membeli hutan adat rimba pusaka suku Talang Mamak pada empat kawasan hutan adat yang masih perawan ketika itu. Keempat kawasan hutan adat itu yakni Keramat Rimba Puaka Penyabungan dan Penguanan seluas 1.800 hektare (ha), kemudian Keramat Rimba Puaka Sungai Tunu 104,933 ha, Keramat Rimba Puaka Durian Bejajar 98,577 ha dan Keramat Rimba Puaka Kelumbuk Tinggi Baner seluas 21,901 ha. Namun, Laman hanya manusia biasa, ia tak dapat melawan hukum alam yang berlaku dan harus pasrah dengan keadaan bahwa dirinya yang tak lagi muda dan sekuat tenaganya ketika masih muda dalam mengawasi hutan-hutan adat suku Talang Mamak. Ketika alat berat perusahaan meluluhlantakkan hutan adatnya itu, Laman seorang diri berusaha bertahan menentang ulah keserakahan manusia dengan mendirikan pondok di kawasan hutan itu. Meski nyawanya terancam, namun sang Patih tak gentar, tapi dikalahkan dengan kondisi fisik ayah dengan enam anak dan puluhan cucu dengan tubuh yang makin ringkih termakan usia dan kemudian jatuh sakit. Sedikitnya 1.904 ha lebih hutan adat yang dianggap keramat yakni Penyabungan dan Penguanan serta Sungai Tunu telah habis dibabat sejak akhir 2007 dan beralih fungsi menjadi perkebunan kelapa sawit. Patih juga telah berulang kali memperjuangkan Rimba Puaka itu ke Pemerintah Kabupaten Indragiri Hulu dan Provinsi Riau, namun sampai hutan itu gundul kedua pemerintah daerah itu diam membisu. Sang Patih kembali tak berdaya menghadapi penguasa dan pengusaha. "Kami hanya memiliki kemampuan lisan dan kami tak tahu harus berbuat apalagi, pemerintahlah yang seharusnya yang bertindak terhadap mereka," ujarnya. Hilangnya sebagian besar dari total 2.025 ha lebih pada empat kawasan hutan adat yang dimiliki Talang Mamak, maka adat istiadat warga terasing suku asli Riau itu pun ikut terancam hilang. Tapi anehnya, belakangan terdengar Kementerian Lingkungan Hidup menurunkan tim yang ditugaskan khusus mengevaluasi Kalpataru bagi Sang Patih, menyusul rencana pemimpin suku Talang Mamak itu mengembalikan penghargaan pelestarian lingkungan hidup. "Tim Kementerian Lingkungan Hidup melakukan evaluasi dan melihat langsung konsistensi Patih Laman menjaga hutan adatnya," kata Kepala Pusat Pengelolaan Lingkungan Hidup Regional Sumatra, Sabar Ginting. Patih memang sudah dua bulan terakhir ingin mengembalikan benda pahatan perunggu berbentuk akar yang dikurung dalam kotak kaca kepada Gubernur Riau Rusli Zainal, namun niat itu belum juga kesampaian karena sang kepala daerah itu tidak berada di kantornya ketika sang Patih tiba di Pekanbaru. Dia mengaku kesal karena hutan yang dijaganya telah habis ditebang dengan seizin pemerintah. "Saya mendapatkan Kalpataru itu dari pemerintah karena dinilai berjasa menjaga hutan, tapi benda itu mau saya kembalikan agar pemerintah mengembalikan juga hutan adat kami," ujar sang Patih.