"Medan Laga" Perang Air Jadi Magnet Wisata Pesisir Riau

id medan laga, perang air, jadi magnet, wisata pesisir riau

"Medan Laga" Perang Air Jadi Magnet Wisata Pesisir Riau

Pekanbaru (Antarariau.com) - Perang air, dari sebuah permainan bocah di Kota Selatpanjang Kabupaten Kepulauan Meranti, kini menjadi daya tarik wisata di pesisir Provinsi Riau. Hanya ada satu aturan perang yang sudah bertahan selama puluhan tahun: "kalau Anda disiram, dilarang marah".

Puluhan ribu orang tumpah ruah menyesaki kota kecil itu pada akhir Januari lalu untuk peringatan Tahun Baru Imlek 2568/2017. Saat matahari mulai condong ke ufuk barat, mereka mulai turun ke jalan besar yang berubah menjadi "medan laga".

Dengan bersenjatakan pistol air, gayung, ember, hingga alat penyemprot tanaman, dan becak motor jadi kendaraan perangnya, mereka bersiap basah bersama. Semua kalangan dari tua-muda, polisi hingga pejabat, tidak perduli pangkat dan jabatan, mereka terlihat ikut bergembira.

Perang air, yang dalam bahasa China Hokian disebut "Cian Cui", adalah tradisi unik dari Selatpanjang. Acara ini mirip dengan "Songkran" atau perang air yang ada di Thailand, namun lebih seru karena berlangsung selama enam hari pada peringatan Tahun Baru Imlek (Lunar New Year).

Penelusuran penulis dari sejumlah sumber menyatakan, "Cian Cui" sudah ada di Selatpanjang sejak tahun 1970-an. Ini berawal dari anak-anak setempat untuk mengisi waktu selama perayaan Imlek dengan saling menyiram air. Pada masa itu, perang air dimulai sejak siang hari hingga larut malam. Mereka sudah menggunakan pistol air dan airnya diberi pewarna, dan ada juga yang menggunakan pistol angin dengan peluru plastik. Karena dianggap berbahaya, kegiatan itu sempat dilarang namun muncul lagi.

Konon kegiatan serupa juga dilakukan saat perayaan Lebaran Idul Fitri. Pemerintah daerah sejak 2013 mulai mengemas tradisi main air ini menjadi sebuah festival.

Bupati Kepulauan Meranti, Irwan Nasir, mengatakan festival perang air bisa menyatukan masyarakat Meranti yang terdiri dari berbagai suku dan agama. "Perang air sebenarnya juga dilakukan oleh warga pada saat perayaan Idul Fitri, namun pada saat Imlek acaranya lebih besar. Jadi, perang air ini tidak ada kaitannya dengan agama tertentu, tapi sudah jadi tradisi warga setempat," kata Irwan.

Karena perang air tidak berkaitan dengan ritual agama tertentu, maka semua kalangan bisa ikut serta. Apalagi, tradisi unik ini hanya bisa ditemukan di Kota Selatpanjang.

Sejumlah wisatawan asal Afrika Selatan juga terlihat menikmati festival perang air. Dua bule yang mengaku bernama Arthur Bell dan Wesley mengatakan festival perang air sangat menyenangkan, meski mereka tidak mengerti bahasa Indonesia. Keduanya sempat keliling menggunakan becak dan basah kuyup karena "diserang" warga yang menyiram air dari pinggir jalan.

"Saya senang sekali. Terutama saat saling serang airnya," kata Arthur dengan bahasa Inggris.

Wesley menambahkan, mereka berdua baru pertama kali datang ke Selat Panjang karena diajak oleh kawannya bahwa tempat itu ada festival perang air yang menarik.

"Saya ingin datang lagi tahun depan," kata Wesley bersemangat.

Efek Domino

Dampak positif ekonomi dari festival perang air dirasakan sampai ke berbagai lapisan masyarakat. Mulai dari meningkatnya tingkat hunian hotel, penjualan kuliner, oleh-oleh, pistol air, hingga berlipatnya pendapatan tukang becak.

Seorang penarik becak, Wandro (50), mengatakan penghasilannya selama Imlek naik hingga empat kali lipat dari hari biasa. Ini karena ramainya penyewa becak untuk berkeliling dengan tarif Rp100 ribu untuk sekali putar pada rute festival perang air di Jalan Diponegoro, Kartini, Imam Bonjol, A. Yani dan Jalan Tebing Tinggi.

"Sehari saya bisa dapat Rp450 ribu. Padahal hari biasa paling banyak Rp100 ribu," katanya.

Ketua Festival Perang Air 2017, Uyung Salis, mengatakan diperkirakan ada sekitar 36.000 wisatawan yang ikut menghadiri festival perang air pada tahun ini, dan meningkat dibandingkan 2016 yang mencapai 16.000 orang. Dari jumlah tersebut, sekitar lima persennya adalah wisatawan asing.

"Efek domino dari festival perang air ini sangat luar biasa karena hotel dan penginapan penuh, bahkan wisatawan yang ingin datang pada tahun depan sudah memesan kamar hotel dari sekarang dan sudah membayar lunas," kata Uyung, yang juga Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Kabupaten Kepulauan Meranti.

Menurut dia, perputaran uang saat "Cian Cui" juga sangat besar. Ia memperkirakan rata-rata seorang wisatawan menghabiskan tiga hari di Selatpanjang untuk ikut perayaan Imlek dan festival perang air. Pengeluaran satu orang rata-rata mencapai Rp2,7 juta untuk tiga hari.

"Kalau dikalikan 36 ribu wisatawan, maka perputaran uang selama tiga hari festival ini mencapai sekitar Rp99 miliar," katanya.

Ketika dikemas sebagai agenda wisata, lanjutnya, pemerintah daerah bersama paguyuban masyarakat Tionghoa bersepakat menerapkan aturan yang ketat demi keamanan dan kenyamanan peserta. Dengan aturan yang baru, perang air hanya diperbolehkan selama dua jam pada pukul 16.00 hingga 18.00 WIB. Selain itu, peserta tidak boleh melempar air di dalam kemasan plastik karena bisa melukai orang lain dan sampahnya mengotori kota.

"Sebenarnya tidak butuh biaya banyak untuk mengemas festival perang air ini karena masyarakat sudah melakukannya sendiri sebagai tradisi. Tinggal pemerintah menggencarkan promosi dan pengawasan aturan saja supaya berjalan tertib," katanya.

Festival perang air menjadi sebuah rangkaian dari wisata Imlek di Selatpanjang, yang puncaknya ditandai dengan perayaan Imlek Keenam (Cui Lak). Langit malam saat "Cui Lak" terlihat terang benderang karena pesta kembang api selama lima jam penuh, yang dimulai sebelum tengah malam.

Sementara itu, pawai budaya pada Imlek keenam tidak hanya diikuti oleh warga Tionghoa yang berkeliling ke puluhan kelenteng dan vihara, melainkan juga diisi dengan karnaval anak-anak yang mengenakan pakaian tradisional China, model yang mengenakan pakaian seperti dewa, iring-iringan mobil hias, hingga Reog Ponorogo yang notabene budaya dari Jawa Timur.

"Ketika perayaan Tahun Baru Imlek sudah menjadi wisata, artinya itu bukan hanya milik warga Tionghoa. Itu milik semua masyarakat, karena itu kita kemas dengan menarik supaya perang air dan pawai juga diikuti oleh warga lainnya dan wisatawan," kata Humas Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia (PSMTI) Kabupaten Kepulauan Meranti, Atan.

Ia berharap festival perang air juga bisa digelar saat Lebaran Idul Fitri. "Supaya Meranti bisa ada dua kali festival perang air, dan makin banyak wisatawan yang datang," harapnya.