Totalitas Christine Hakim Menjadi Ibu Dari Kartini

id totalitas christine, hakim menjadi, ibu dari kartini

Totalitas Christine Hakim Menjadi Ibu Dari Kartini

Jakarta (Antarariau.com) - Aktris kawakan Christine Hakim tak tanggung-tanggung mendalami peran sebagai Ngasirah, ibu kandung Kartini dalam film biopik "Kartini".

Peraih tujuh Piala Citra ini menjelma menjadi Ngasirah tak hanya saat lokasi syuting, tetapi juga di luar pengambilan gambar.

Dia sempat tinggal di set bangunan yang memang dibangun khusus untuk film Kartini beberapa hari sebelum syuting. Dia ikut membersihkan rumah itu dan berpakaian selayaknya Ngasirah di luar syuting.

"Membuat film sejarah itu secara tidak langsung seperti merekonstruksi skenario Tuhan. Saya punya tanggung jawab moral yang lebih besar, jauh lebih besar dibanding karya-karya lainnya," kata Christine dalam siaran pers.

Itulah mengapa ia merasa perlu menapaktilasi kehidupan Ngasirah, Kartini dan keluarga Sosroningrat sampai ke Jepara, Rembang, dan Kudus. Ia juga berusaha menapaktilasi batin Ngasirah dan Kartini.

Christine menambahkan, "Yang tersulit ketika memerankan Ngasirah adalah kompleksitas beliau sebagai anak seorang kiai, lalu menjadi istri bupati yang berdarah biru, walaupun sebagai istri pertama. Jadi sulit bagaimana menentukan di satu pihak, dia bukan pembantu, di lain pihak status sosialnya di dalam tradisi kehidupan yang harus dia jalani agak lebih tinggi sedikit dari pembantu."

Riset mengenai Ngasirah dan tokoh-tokoh lain dalam film Kartini membuatnya semakin mengagumi Kartini.

"Dilema Kartini itu luar biasa besarnya. Bahwa pada akhirnya Kartini memilih untuk tinggal, tidak menerima beasiswa yang sudah dia dapatkan dari pemerintah Belanda, itu bukan kekalahan menurut saya, tapi itu suatu pilihan."

"Pilihan Kartini menurut saya tidak bisa dianggap sebagai kegagalan karena mempertahankan akar budaya bangsa juga penting. Bangsa yang tercabut dari akarnya, maka dia akan goyah."

Mengingat banyaknya pemeran dalam film ini, harmonisasi penting bagi Christine demi mendapat hasil terbaik. Bagai orkestra, ia tidak bisa memikirkan kepentingan sendiri, tapi bagaimana membuat harmoni indah di bawah arahan sutradara sebagai konduktor.

"Karena kalau saya jalan dengan keinginan saya saja, nanti secara keseluruhan bisa melahirkan nada sumbang."