BI Nyatakan 39,31 Persen Ekonomi Riau Berasal Dari Sawit

id bi nyatakan, 3931 persen, ekonomi riau, berasal dari sawit

BI Nyatakan 39,31 Persen Ekonomi Riau Berasal Dari Sawit

Pekanbaru (Antarariau.com) - Bank Indonesia Perwakilan Provinsi Riau menyatakan, kelapa sawit dan produk turunannya menopang sebesar 39,31 persen dari perekonomian Riau, sehingga membutuhkan kebijakan khusus dari pemerintah untuk mengembangkannya di masa depan.

"Ketika sektor minyak dan gas terus menurun, perekonomian Riau dari nonmigas sebenarnya masih sangat ditopang oleh kelapa sawit sebesar 39,31 persen karena sektor pertanian dan industri pengolahan di dalamnya didominasi oleh kelapa sawit," kata Kepala Divisi Advisory dan Pengembangan Ekonomi pada Kantor Perwakilan Bank Indonesia (BI) Provinsi Riau, Irwan Mulawarman, pada diskusi "Mungkinkah Riau Tanpa Sawit?", di Kota Pekanbaru, Selasa.

Menurut Irwan, kontribusi sawit lebih besar ketimbang sektor pertambangan dan penggalian yang sumbangannya pada Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Riau 2016 mencapai 22,65 persen, dan trennya terus menurun.

Ia mengatakan sulit menggeser sawit sebagai komoditas unggulan di Riau dalam jangka pendek karena masih banyak masyarakat yang menggantungkan kehidupannya di sektor tersebut. Berdasarkan kajian BI, luas perkebunan sawit di Riau hingga 2015 sudah mencapai 2,42 juta hektare, atau sekitar 25 persen dari luas sawit secara nasional.

Dari sektor industri, lanjutnya, sebanyak 167 dari 219 perusahaan dalam industri makanan di Riau yang menggunakan produk sawit, telah menyerap 43.395 orang tenaga kerja atau sekitar 70,60 persen dari total tenaga kerja industri besar dan sedang. Kemudian dari kinerja ekspor dari Riau, 61,47 persen ekspor Riau adalah minyak dan lemak nabati, dimana 91,20 persen di dalamnya adalah minyak mentah kelapa sawit (crude palm oil/CPO) yang diekspor ke Tiongkok, India,

negara-negara ASEAN dan MEE.

Sementara itu, 46,09 persen tenaga kerja di Riau terkonsentrasi pada sektor pertanian, perkebunan dan kehutanan. Tenaga kerja dalam industri sawit mayoritas dipenuhi dari dalam negeri, sedangkan jumlah tenaga asing masih terbatas.

Ini merupakan tugas yang berat jika ingin menggeser sawit dengan komoditas lain karena komoditas ini sudah bertahun-tahun menjadi penopang perekonomian masyarakat Riau. Namun untuk jangka panjang memang harus mulai disiapkan dari sekarang, karena Riau jangan lagi mengandalkan sumber daya alam, ujar Irwan.

Irwan mengatakan untuk memaksimalkan potensi sawit di Riau, harus dilakukan hilirisasi. Sebab, mayoritas sawit Riau dikirim ke luar sebagai bahan mentah. Padahal, lanjut Irwan di Malaysia sudah ada 120 turunan produk sawit yang memberikan nilai tambah tinggi. Sementara di Indonesia, hilirisasi sawit baru dikembangkan sebanyak 20 produk.

Peneliti dan Guru Besar dari Universitas Riau, Prof Almasdi Syahza mengatakan bahwa sawit masih memiliki dampak ekonomi ganda (multiplier effect) yang besar di Riau. Hampir semua lini kehidupan masyarakat di Riau diuntungkan dengan pengembangan komoditas sawit. Berdasarkan hasil penelitian, indeks kesejahteraan masyarakat pedesaan Riau sejak 1995 hingga 2015 terus meningkat. Di level petani, pendapatan petani sawit pada 2015 sudah mencapai 4.630 hingga 5.500 dolar AS per tahun.

"Apakah ekonomi Riau bisa tanpa sawit? Maka jawabannya, tidak. Karena sawit telah memberikan dampak terhadap percepatan pembangunan ekonomi masyarakat dalam upaya mengetaskan kemiskinan di pedesaan. Dampak aktivitas tersebut terlihat dari indikator, salah satunya usaha tani kelapa sawit telah dapat mengurangi ketimpangan pendapatan di daerah pedesaan," ujarnya.

Prof Almasdi mengatakan, ironi yang terjadi sekarang adalah pemerintah justru mengeluarkan kebijakan yang kontraproduktif dengan pengembangan sektor tersebut. Melalui empat Peraturan Menteri (Permen) sebagai turunan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 57 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut, lanjutnya, pengembangan sektor perkebunan di Riau akan sulit menerapkan salah satu poin dalam peraturan itu yang mengatur bahwa muka air gambut ditetapkan minimal 40 centimeter (0,4 meter).

"Peraturan itu akan merugikan tidak hanya pertanian sawit, namun semua komoditi yang menggunakan lahan gambut." katanya.

Sementara itu, akademisi dari Institut Pertanian Bogor (IPB) DR. Ricky Avenzora menambahkan, rencana pemerintah yang akan mengalihkan sawit dengan komoditas lain harus dikaji secara mendalam dan harus berdasarkan kajian akademis. Menurutnya, saat ini industri sawit dalam negeri, harus dilindungi karena banyak diserang oleh isu-isu nonteknis dari luar negeri yang diduga kuat menggunakan lembaga swadaya masyarakat (LSM) sebagai grup lobi mereka.

Beberapa isu yang digunakan pihak asing untuk menyerang industri dalam negeri diantaranya, sawit selalu dituding sebagai penyebab kebakaran lahan, kemudian sawit dituding boros air, sawit sebagai penyebab pemanasan global dan isu lainnya.

"Sektor yang sudah memberikan banyak pemasukan ke negara justru seperti tidak dilindungi oleh pemerintah dan terus ditekan oleh LSM. Ada lebih dari 100 item isu yang digunakan untuk menghancurkan sawit Indonesia. Kita harus merapatkan barisan, karena isu yang keluar semua tidak sesuai fakta, kata DR. Ricky Avenzora.