Gapki Riau Harapkan Adanya Peninjauan Ulang Regulasi Gambut

id gapki riau, harapkan adanya, peninjauan ulang, regulasi gambut

Gapki Riau Harapkan Adanya Peninjauan Ulang Regulasi Gambut

Pekanbaru (Antarariau.com) - Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia Provinsi Riau berharap pemerintah mengevaluasi Peraturan Pemerintah No 57/2016 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut, beserta empat Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan sebagai turunannya.

"Regulasi itu tidak bisa dipaksakan karena jelas berpengaruh pada bisnis kelapa sawit," kata Ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Riau, Saut Sihombing kepada wartawan di Pekanbaru, Rabu.

Luas perkebunan kelapa sawit di Riau kini lebih kurang tiga juta hektare (ha). Dari total luas kebun sawit tersebut, 45 persen lahan sawit dimiliki masyarakat, 40 persen milik perusahaan, dan sisanya lahan petani plasma.

"Mari kita bersama-sama mendukung pengembangan kelapa sawit nasional sebagai penopang perekonomian, bukan malah menyulitkan dengan beragam aturan yang ketat. Bila memang ada masalah dalam tata kelola sawit, mari sama-sama dibenahi bukan ditambah sulit dengan aturan baru," katanya.

Menurut dia, ada salah satu poin dalam regulasi baru itu yang sulit diimplementasikan terkait mengatur tentang pengelolaan lahan gambut dengan kedalaman lebih dari tiga meter, yang harus diubah statusnya menjadi hutan lindung.

Padahal, ia mengatakan Riau memiliki luasan lahan gambut mencapai 3,8 juta ha, dan 75 persen di antaranya memiliki kedalaman di atas tiga meter.

Guru Besar dari Universitas Riau Prof Almasdi Syahza mengatakan, regulasi tentang pengelolaan lahan gambut sebenarnya bertujuan baik, yakni untuk mencegah kebakaran lahan gambut. Hanya saja, poin dalam regulasi itu yang mengatur ketinggian muka air pada lahan gambut ditetapkan harus setinggi 0,4 meter, akan sulit dipraktikan di lapangan.

Daerah di Riau yang mayoritas lahannya bergambut seperti Kabupaten Rokan Hilir, Indragiri Hilir dan Bengkalis, akan sulit mengembangkan daerahnya untuk bercocok tanam perkebunan.

"Tidak hanya sulit ditanami untuk kelapa sawit, untuk kelapa saja akan sulit, artinya semua komoditas yang menggunakan lahan gambut akan terdampak," ujarnya.

Khusus untuk kelapa sawit, luas lahan di Riau kini sudah lebih dari dua juta ha, yang mayoritas dimiliki oleh petani rakyat. Kelapa sawit memiliki dampak ekonomi berganda yang besar di Riau karena hampir semua lini kehidupan masyarakat telah diuntungkan dengan pengembangan komoditas ini.

Berdasarkan hasil penelitiannya, indeks kesejahteraan masyarakat perdesaan Riau sejak 1995 hingga 2015 terus meningkat. Di level petani, pendapatan petani sawit pada 2015 sudah mencapai 4.630 hingga 5.500 dolar AS per tahun.

Menurut dia, ekonomi Riau belum bisa lepas dari sawit karena telah memberikan dampak terhadap percepatan pembangunan ekonomi masyarakat dalam upaya mengetaskan kemiskinan di perdesaan, pedalaman, bahkan di perbatasan.

Dampak aktivitas tersebut terlihat dari indikator, salah satunya usaha tani kelapa sawit telah dapat mengurangi ketimpangan pendapatan di daerah perdesaan.

"Saya sudah sering katakan, aturan tentang gambut ini tidak bisa dipaksakan," ujar kata Almasdi yang sudah meneliti dampak ekonomi sawit di perdesaan Riau sejak 1995.

Berdasarkan data Kementerian Perindustrian, luas lahan kelapa sawit nasional hingga 2016 mencapai 11,6 juta ha. Sebanyak 41 persen atau 4,75 juta ha dimiliki oleh petani rakyat (smallholders), BUMN sekitar tujuh persen (812.000 ha), dan perkebunan swasta 52 persen (6,03 juta ha).

Produk ekspor sawit dan turunannya lebih dari 154 jenis, dengan nilai ekspor minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) dan produk hilir turunannya pada 2016 mencapai 18,6 miliar dolar AS.

Pada tahun yang sama, industri kelapa sawit juga menyumbang pada penerimaan pajak sebesar 2,23 persen dari penerimaan pajak sekitar Rp1.230 triliun.

Industri kelapa sawit hulu-hilir menyerap 5,3 juta tenaga kerja, didominasi sektor perkebunan kelapa sawit dan menghidupi lebih dari 21,2 juta orang.