WWF Dukung Pembangunan Jalan Ramah Lingkungan "Koridor Rimba"

id wwf dukung pembangunan jalan ramah lingkungan koridor rimba

WWF Dukung Pembangunan Jalan Ramah Lingkungan "Koridor Rimba"

Pekanbaru (Antarariau.com) - Organisasi perlindungan satwa WWF (World Wildlife Fund) mendorong Pemerintah Indonesia dalam pembangunan infrastruktur jalan agar ramah lingkungan untuk menjaga kelestarian satwa dan mencegah konflik di kawasan ekosistem Riau, Jambi dan Sumatera Barat (Koridor Rimba).

"Konsep pembangunan infrastruktur jalan yang ramah lingkungan ini tentunya menjadi penting dipertimbangkan, karena setiap pembangunan infrastruktur maka selalu berdampak terhadap keberlangsungan lingkungan hidup," kata Manager Conservation Science Unit (CSU) WWF Indonesia, Tomas Barano dalam rilisnya, Jumat.

Komitmen pembangunan jalan berbasis ekologi (ecoroad) merupakan perwujudan dari kesepakatan 10 gubernur di Sumatera pada 2008, dan diperjelas dalam Peraturan Presiden No. 13 Tahun 2012 tentang Tata Ruang Pulau Sumatera.

Namun, hasil kajian WWF Indonesia melalui pendekatan InVest (Integrated Valuation for Ecosystem Services and Tradeoffs) menyatakan, adanya kondisi kritis akibat pembangunan jalan raya yang melintasi kawasan hutan lindung dan konservasi di kawasan ekosistem Koridor Rimba.

Padahal, kawasan tersebut merupakan area percontohan pembangunan berbasis ekologi, yakni di Kabupaten Kuatan Singingi Provinsi Riau, Kabupaten Tebo Provinsi Jambi, dan Kabupaten Darmasraya Provinsi Sumatera Barat.

Koridor Rimba adalah salah satu kawasan yang masih memiliki potensi keanekaragaman hayatinya.

"Misalnya, jalan yang menembus kawasan konservasi di Koridor Rimba adalah di kawasan Hutan Lindung Bukit Batabuh. Ada jalan sepanjang sekitar 9,3 kilometer, yang membelah kawasan koridor Rimba. Jalan tersebut memotong jalur satwa dari Taluk Kuantan-Kiliranjao di Kabupaten Kuangan Singingi, Riau," katanya.

Sebelumnya, pada Workshop "Ecoroad Construction" di Pekanbaru, Kamis (5/5), Kasubdit Lingkungan dan Kesalamatan Jalan Direktorat Bina Marga Kementrian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Subaiha Kipli, menyatakan pihaknya menyetujui program infrastruktur jalan yang berbasis ekologi.

Tapi seringkali infrastruktur yang dibangun tidak dikawal pemerintah daerah. Contoh kasus misalnya jembatan Kelok Sembilan di Sumatera Barat. Awalnya jembatan ini dibangun dengan mempertimbangkan kepentingan lingkungan. Tapi karena tidak ada perhatian pemerintah daerah, akhirnya muncul masyarakat yang membuka lapak-lapak dagangan.

"Masalahnya yang menjaga infrastruktur yang dibangun itu adalah pemerintah daerah. Karena tugas kami hanya membangun. Makanya saya berharap agar dalam dokumen amdal harus ditegaskan soal dampak sosial akibat pembangunan infrastruktur itu harus ditegaskan penanggung jawabnya adalah pemerintah daerah," tegas Subaiha.

Sementara itu, Dosen Universitas Lampung Anshori Djamsal, dosen dari Universitas Lampung mengatakan banyak infrastruktur yang dibangun pemerintah belum mempertimbangkan kepentingan lingkungan berkelanjutan. Dari mulai pembangunan jalan tol, kereta api dan jalan raya lainnya, sering kali tidak mempertimbangkan kepentingan mahluk hidup secara luas.

"Jangankan gajah, bahkan kodok juga terganggu. Jadi pembangunan jalan raya, jalan tol dan kereta api, telah mengganggu kualitas habitat. Sekarang ini, pemerintah kita tidak bisa sembarangan membangun jalan. Karena konsep ecoroad, maka pembangunan jalan harus menyeimbangkan kepentingan mahluk hidup. Baik flora maupun satwanya," ujar Anshori.

Untuk itu, perlu mitigasi dalam membangun jalan terutama yang melintasi kawasan-kawasan konservasi dan bernilai tinggi. Upaya mitigasi tersebut antara lain harus mempertimbangkan tiga aspek.

Pertama, ada perencanaan terpadu konservasi, konservasi habitat, dan transportasi. Kedua adalah mitigasi demi mengurangi dampak jalan terhadap satwa liar.

Ketiga, membangun kembali jalur habitat dan koridor satwa, sedangkan terakhir adalah mendorong perubahan perilaku dan cara pandang pengguna jalan terhadap satwa liar.