Industri Halal Indonesia Menanti Implementasi Undang-undang

id industri halal, indonesia menanti, implementasi undang-undang

Industri Halal Indonesia Menanti Implementasi Undang-undang

Jakarta, (Antarariau.com) - Perkembangan pasar industri halal yang demikian pesat di dunia telah mencuri perhatian pemerintah dan pelaku usaha di banyak negara.

Bukan hanya negara-negara muslim, melainkan juga negara-negara berpenduduk mayoritas non-Muslim.

Selain itu, meningkatnya minat masyarakat dunia untuk mengonsumsi produk halal bukan hanya didorong oleh motivasi keyakinan, melainkan juga karena kualitas produk halal yang memang makin baik dari aspek etika, kesehatan, keamanan, maupun keramahan terhadap lingkungan atau eco-friendly.

Berdasarkan data yang diperoleh dari tim peneliti Center of Reform on Economics (CORE), diketahui bahwa pada tahun 2015 belanja produk dan jasa halal mencapai lebih dari 1,9 triliun dolar Amerika Serikat, atau tumbuh 6 persen dari produk dan jasa halal pada tahun sebelumnya.

Pengeluaran untuk makanan dan minuman mencatat penjualan terbesar dengan nilai 1,2 triliun dolar AS. Selanjutnya, pakaian 243 miliar dolar AS, media dan rekreasi 189 miliar dolar AS, jasa perjalanan 151 miliar dolar AS, serta obat-obatan dan kosmetik 133 miliar dolar AS.

Pada saat yang sama, total aset sektor keuangan syariah ditaksir sebesar dua triliun dolar AS.

Meningkatnya permintaan konsumen para produk halal telah mendorong naiknya investasi dan perdagangan pada industri tersebut. Tidak hanya pada perusahaan lokal, tetapi juga perusahaan multinasional.

Sebut saja Unilever, Nestle, Kellogg s, Cargill merupakan beberapa perusahaan mutlinasional yang telah mengembangkan produk halal.

Bahkan, BASF--perusahaan kimia terbesar di dunia--telah mengantongi 145 sertifit halal untuk produk pembersih wajah, sabun, dan detergen.

Yang lebih mencengangkan, produsen pakaian dan perlengkapan olahraga Nike juga telah berencana meluncurkan hijab khusus untuk olahraga.

Memang tidak bisa dipungkiri, dari segi ekonomi, peluang untuk mendulang keuntungan melalui konsep halal atau syariah memang terbilang besar.

Ironisnya, Indonesia sebagai negara pemeluk agama Islam terbesar di dunia justru tertinggal dalam menerapkan industri halal.

Tantangan

Saat ditemui di Jakarta, ekonom CORE Akhmad Akbar Susamto menyebutkan paling tidak ada empat tantangan dalam mengembangkan industri halal di dalam negeri.

Pertama, masih kurangnya pihak regulator atau pemerintah dalam memahami potensi industri halal. Terlihat dari pemerintah yang hingga saat ini masih berkutat sebatas pada pengembangan keuangan syariah, dan belum memiliki peta jalan pengembangan industri halal yang jelas dan komprehensif.

Akan tetapi, ketidaksadaran juga masih meliputi pemahaman masyarakat yang menilai produk halal hanya melingkupi makanan dan minuman saja, atau keuangan syariah. Sementara aspek lain belum dipandang harus bersifat halal.

Kedua, pengembangan industri halal masih terkendala oleh terbatasnya pasokan bahan baku yang memenuhi kriteria halal.

Secara umum pasokan bahan baku halal masih sekitar 37 persen dari total kebutuhan yang mencapai 100 miliar dolar AS. Sementara untuk produk kosmetik dan dan perawatan tubuh jumlahnya jauh lebih kecil, yakni sebesar 18 persen dari kebutuhan yang mencapai 56 miliar dolar.

Tentu hal ini membuat sejumlah produsen kesulitan untuk memproduksi produk halal, pungkas Akbar.

Faktor ketiga, pemahaman yang masih terbatas pada sejumlah produsen serta infrastruktur yang belum mendukung, membuat kepastian produk-produk yang dihasilkan merupakan barang halal menjadi sulit dilakukan.

Bukan hanya dari sisi bahan baku, melainkan juga pada proses logistik, produksi, hingga penjualan. Persoalan logistik sendiri tidak hanya sebatas pengiriman, tetapi juga mencakup pengaturan pengadaan, pergerakan, penyimpanan, penanganan bahan baku, atau produk yang sesuai dengan prinsip syariah.

Hambatan terakhir ialah adanya perbedaan standarisasi dan sertifikasi produk halal.

Saat ini ada lebih dari 400 lembaga sertifikasi halal yang tersebar di berbagai negara, bahkan di beberapa negara terdapat lebih dari satu lembaga sertifikasi.

Masalahnya, lanjut Akbar, yakni sebagian dari lembaga tersebut memiliki kriteria yang berbeda-beda dalam menetapkan kehalalan suatu produk.

Keragaman tersebut menyebabkan sebagian produsen, termasuk yang melakukan ekspor ke berbagai negara, menghadapi persoalan dalam menetapkan standar yang paling tepat untuk mereka ikuti.

Begitu pula, ketika produsen produk halal dari Indonesia akan mengekspor komoditasnya, terkadang menghadapi permasalahan demikian.

Oleh sebab itu, Akbar memandang perlu upaya harmonisasi dan kerja sama antarlembaga sehingga mampu memecahkan masalah tersebut.

Impelentasi Undang-Undang

Sehubungan dengan hal tersebut, Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI Noor Achmad mengingatkan pentingnya penerapan jaminan produk halal oleh berbagai kalangan di dalam negeri.

Jaminan tersebut dituangkan melalui Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal.

Undang-Undang Jaminan Produk Halal diharapkan memberi kepastian hukum dan jaminan halal bagi konsumen, khususnya masyarakat Islam sebagai konsumen terbesar, kata Noor dalam sebuah kesempatan di Jakarta.

Menurut dia, sistem jaminan produk halal tersebut untuk menjamin ketersediaan produk halal serta menumbuhkan kesadaran mengenai kepentingan jaminan produk halal.

Noor mengatakan bahwa UU No. 33/2014 mengatur beberapa pokok, antara lain, menjamin kehalalan produk barang/jasa, seperti makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimiawi, produk biologi, produk rekayasa genetika, serta barang gunaan yang dipakai atau dimanfaatkan masyarakat.

Akan tetapi, UU JPH tersebut meski telah disahkan pada tahun 2014 belum kunjung dibuat peraturan pelaksananya hingga tenggat waktu 2016, bahkan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) juga belum terbentuk.

Hingga menunggu terbentuknya BPJPH, Majelis Ulama Indonesia (MUI) masih menjadi lembaga yang mengeluarkan sertifikasi halal.

Selain itu, MUI juga harus menjadi lembaga yang efisien dalam melayani industri, baik yang berskala nasional maupun internasional.

Sertifikasi halal pun harus mampu mendukung pertumbuhan industri, bukan malah menjadi beban, terutama dari sisi biaya maupun proses yang rumit.

Lembaga ini harus mampu menggalakkan edukasi dan pelatihan, terutama produsen, yang salah satu tujuannya adalah mencetak auditor halal yang kompeten di masing-masing perusahaan.

Khusus bagi UMKM, pelatihan tersebut perlu diperluas pada peningkatan produksi secara efisien, pengepakan, pelabelan, hingga dalam masalah pemasaran dan "branding".

Mengingat besarnya skala industri halal dalam segala bidang, tentu pemerintah dan lembaga terkait juga harus mampu membuat standardisasi untuk berbagai industri meliputi jasa perjalanan, serta hiburan dan pariwisata, atau barang kebutuhan lain. Dengan demikian, tidak hanya sebatas pada barang-barang konsumsi, seperti makanan, minuman, kosmetik, dan obat-obatan.