Pembenahan Sekolah Melalui PPDB Sistem Zonasi

id pembenahan sekolah, melalui ppdb, sistem zonasi

Pembenahan Sekolah Melalui PPDB Sistem Zonasi

Jakarta, (Antarariau.com) - Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 17 Tahun 2017 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) yang mengubah pola kebiasaan sebelum-sebelumnya sesungguhnya tidak sekadar soal penerimaan siswa, tetapi untuk membenahi sekolah-sekolah jadi lebih baik.

Hal pokok yang paling terlihat pada perubahan sistem penerimaan siswa baru yang mulai diterapkan pada tahun ajaran 2017/2018 di seluruh Indonesia ini ialah penerapan sistem zonasi.

Sekolah lebih mengutamakan menerima siswa yang merupakan warga paling dekat dengan sekolah tersebut. Dalam Permendikbud tersebut diatur bahwa 90 persen kuota siswa di suatu sekolah dialokasikan bagi anak yang berada dalam satu zona yang sama.

Sementara itu, sekitar 10 persen sisanya boleh dialokasikan untuk siswa di luar zonasi yang kemudian terbagi menjadi dua, yaitu 5 persen untuk anak yang memiliki nilai akademik tinggi dan setengahnya lagi untuk anak dengan alasan khusus, seperti penugasan orang tua yang berpindah-pindah atau terdampak bencana.

Poin penting lainnya yang juga diatur ialah dari 90 persen kuota khusus untuk satu zona, sekolah wajib mengalokasikan minimal 20 persen untuk anak-anak yang berasal dari keluarga tidak mampu.

Peraturan ini mengubah sistem sebelumnya yang hanya mengandalkan kompetisi nilai akademis untuk dapat masuk dalam suatu sekolah. Oleh karena itu, sekolah-sekolah favorit kerap dibanjiri oleh siswa-siswa dengan nilai tertinggi.

Dari mana pun wilayah tempat tinggal si anak, asalkan dia memiliki nilai yang tinggi, dia bisa masuk ke sekolah-sekolah favorit.

Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Hamid Muhammad menilai jika pola penerimaan siswa seperti itu terus dilanjutkan, hanya akan ada sekolah unggulan itu-itu saja di wilayah yang itu-itu saja.

Dengan PPDB sistem zonasi, memaksa agar tidak semua peserta didik dari wilayah manapun untuk bisa masuk ke sekolah favorit, tetapi sekolah yang paling dekat dengan tempat tinggalnya.

Menurut Hamid, ketentuan ini menguntungkan bagi anak-anak tidak mampu yang tidak perlu mengeluarkan ongkos transportasi terlalu banyak untuk sekolah karena terlempar ke sekolah yang jauh dari rumah. Sebaliknya, hal ini dianggap merugikan bagi orang tua yang memiliki anak dengan nilai akademis tinggi yang ingin memasukkan anaknya ke sekolah favorit.

Paradigma seperti itulah yang perlu diubah di tengah masyarakat, khususnya orang tua siswa, bahwa Indonesia membutuhkan kualitas sumber daya manusia yang merata dengan menciptakan sekolah-sekolah unggulan lebih banyak dan tersebar di setiap wilayah.

Hamid mengatakan bahwa Kemendikbud akan mengevaluasi hasil PPDB sistem zonasi dengan memetakan sekolah-sekolah yang memerlukan pembenahan di setiap zonasi.

Kemendikbud menargetkan untuk memunculkan satu sekolah unggulan di setiap zonasi. Ukuran zonasi ditentukan kemudian oleh dinas pendidikan daerah setempat disesuaikan dengan letak geografis daerah masing-masing.

Hamid menegaskan bahwa Kemendikbud akan membenahi sekolah dengan intervensi dari sisi fisik atau bangunan sekolah dan dari sisi kualitas guru.

Pembenahan dari bangunan sekolah tentu saja akan ada gelontoran dana dari Kemendikbud untuk membangun berbagai fasilitas baru untuk sekolah yang dibenahi.

Sementara itu, pembenahan dari sisi guru dilakukan dengan pendidikan atau pelatihan guru. Selain itu, juga meredistribusi guru-guru terbaik di sekolah-sekolah unggulan ke sekolah lain secara merata.

Untuk meningkatkan kualitas belajar, Permendikbud Nomor 17 Tahun 2017 juga mengatur tentang batas maksimal siswa dalam setiap kelas, yaitu SD sebanyak 28 siswa, SMP 32 siswa, dan SMA 36 siswa.

Namun, apabila di suatu daerah keterbatasan jumlah sekolah, pihak sekolah diperkenankan menambah jumlah siswa maksimal 40 peserta didik dalam satu kelas.

Dilakukan Bertahap

Kemendikbud sebelumnya telah menerapkan peraturan PPDB sistem zonasi hanya di wilayah DKI Jakarta selama 5 tahun sebelum akhirnya diterapkan di seluruh Indonesia.

Dengan pola kebiasaan dalam penerimaan siswa yang tiba-tiba berubah ini tentu diperlukan penyesuaian oleh setiap daerah.

Hamid mengatakan bahwa DKI Jakarta pun menyesuaikan pola baru itu selama 5 tahun.

Dalam Permendikbud Nomor 17 Tahun 2017 tersebut juga disebutkan bahwa ketentuan baru itu dilakukan secara bertahap dikarenakan faktor-faktor lain yang memengaruhi dan berbeda pada praktiknya di lapangan.

Persoalan yang paling mendasar ialah jumlah anak usia sekolah yang lebih besar jumlahnya daripada daya tampung atau jumlah sekolah yang tersedia. Terlebih jumlah sekolah dalam suatu zona belum tentu bisa menampung seluruh anak usia sekolah dalam zona yang sama.

Misalnya, jumlah sekolah dasar di Depok, dikutip dari laman resmi pemerintah Kota Depok, memiliki 397 SD negeri maupun swasta di seluruh kecamatannya. Namun, jumlah SMP negeri dan swasta di Kota Depok berjumlah 193 sekolah.

Hamid pun mencontohkan di Kota Bekasi dengan jumlah lulusan SD sebanyak 42.000 anak. Sejumlah 24.000 di antaranya mendaftarkan diri ke SMP negeri. Akan tetapi, daya tampung SMP negeri di Kota Bekasi sebanyak 15.000 siswa.

Sekolah swasta menjadi pilihan terakhir bagi siswa yang terlempar dari sekolah negeri karena nilai akademis. Namun, bagi keluarga tidak mampu menyekolahkan anak di sekolah swasta menjadi masalah tersendiri karena memerlukan biaya yang lebih besar daripada sekolah negeri.

Hamid menyarankan pada dinas pendidikan provinsi yang memiliki kewenangan atas SMA dan dinas pendidikan kabupaten/kota yang mengelola SD dan SMP untuk bekerja sama dengan sekolah swasta untuk menampung jumlah anak usia sekolah, yaitu dengan memberikan subsidi kepada sekolah swasta dari APBD.

Menurut Hamid, kerja sama dengan sekolah swasta memakan biaya yang lebih sedikit ketimbang harus membangun sekolah negeri baru yang butuh biaya dan waktu lebih.

Hamid berpendapat bahwa penerapan PPDB sistem zonasi di seluruh Indonesia memang tidak bisa dilakukan sertamerta seluruhnya dan perlu ada penyesuaian.

Ia memperkirakan butuh waktu satu sampai 2 tahun agar penerapan ketentuan baru ini dilakukan dengan benar oleh sekolah, sementara dari pemerintah pusat berupaya menghadirkan sekolah-sekolah unggulan baru di setiap zona.