Menyikapi Program "Rehiring" Malaysia

id menyikapi program, rehiring malaysia

Menyikapi Program "Rehiring" Malaysia

Abdul Rohim sudah berhari-hari bersembunyi di salah satu kawasan hutan sawit di Kuala Lumpur, Malaysia.

Razia besar-besaran terhadap para pekerja ilegal di negeri Jiran memaksa TKI asal Jember, Jawa Timur itu bersama ratusan TKI ilegal lainnya melarikan diri masuk ke hutan sawit dengan membawa perbekalan dan makanan secukupnya untuk bertahan hidup di sana.

Abdul Rohim memutuskan untuk tinggal di dalam hutan dan tidak kembali ke rumah kongsi untuk sementara waktu karena dia gagal mengikuti program rehiring atau pemutihan terhadap TKI ilegal yang dilakukan oleh Pemerintah Malaysia.

Pemerintah Malaysia mengasumsikan bahwa 50 persen dari sekitar lima juta pekerja asing yang ada di negaranya adalah tenaga kerja asing ilegal.

Dari 2,5 juta pekerja asing ilegal tersebut, separuhnya adalah pekerja asing tanpa izin (PATI) asal Indonesia.

Malaysia kemudian memberlakukan program rehiring pekerja asing ilegal yang tahapannya dimulai dari 15 Februari hingga 31 Desember 2017.

Para pekerja asing diberi kesempatan untuk mendaftarkan diri dalam program pemutihan tersebut hingga 30 Juni untuk mendapatkan E-Kad, semacam kartu izin sementara untuk bekerja di Malaysia.

Karena pendaftaran sudah tutup pada 30 Juni, maka pada 1 Juli dimulailah penegakan hukum lewat razia-razia terhadap para pekerja asing ilegal yang tidak mempunyai E-Kad.

Sekretaris Utama BNP2TKI Hermono mengatakan bahwa berdasarkan mandat Presiden Joko Widodo, Indonesia juga memiliki kepentingan untuk mengurangi jumlah tenaga kerja asing ilegal yang ada di luar negeri.

"Apa yang dilakukan oleh Malaysia untuk mengurangi tenaga kerja tanpa dilengkapi dokumen, yang sebagian besar adalah tenaga kerja dari Indonesia, itu sejalan juga dengan kepentingan kita," kata Hermono dalam sesi diskusi dengan wartawan di Kementerian Luar Negeri, Jumat (14/7).

Namun demikian, program rehiring tersebut dipandang sepi peminat karena dari sekitar 600 ribu pekerja asing ilegal yang ditargetkan tahun ini, hanya sebanyak 155.162 pekerja asing ilegal yang mendaftar program tersebut.

Partisipasi terbanyak datang dari PATI asal Bangladesh yaitu sekitar 91.312, sementara PATI dari Indonesia yang sudah mendapatkan E-Kad hanya sebanyak 35.590.

Hermono mengatakan rendahnya keikutsertaan program rehiring bisa disebabkan oleh tiga hal yaitu majikan yang enggan melakukan pemutihan karena menurut peraturan di sana, yang bertanggung jawab melakukan pemutihan adalah majikan.

Kemudian persyaratan untuk mengikuti program rehiring terlalu ketat, misalnya yang masuk lewat jalur tikus tidak boleh atau yang kabur dari majikan tidak boleh, sehingga para pekerja asing ilegal tidak memenuhi syarat tersebut.

Dan yang terakhir dari sisi para pekerja asing itu sendiri yang tidak mau mengikuti program pemutihan tersebut karena terkendala biaya misalnya.

Program rehiring tersebut dipandang hanya menangani dampak dari banyaknya PATI, tetapi sebenarnya ada akar masalah yang harus ditangani, kata Hermono.

Ada masalah yang harus ditangani sehingga jumlah PATI tak terlalu tinggi di Malaysia. Selain itu, Indonesia dan Malaysia tak lagi memiliki perjanjian penempatan tenaga kerja karena instrumen hukum berupa MoU penempatan TKI di Malaysia pun sudah berakhir pada Mei tahun lalu.

Upaya perlindungan TKI

Direktur Perlindungan WNI dan Badan Hukum Indonesia Kementerian Luar Negeri Lalu Muhammad Iqbal mengatakan bahwa Indonesia setiap tahunnya telah berperan aktif memberikan masukan kepada Malaysia untuk perbaikan modalitas program rehiring.

Masukan-masukan tersebut datang misalnya dari keluhan para TKI di lapangan. Selain itu juga lewat komunikasi kedua Menteri Luar Negeri.

"Banyak masukan Indonesia yang diadaptasi dalam program rehiring," kata Iqbal.

Selain itu, pemerintah Indonesia melalui perwakilannya di Malaysia juga terus melakukan sosialisasi program rehiring kepada para TKI di Malaysia baik secara langsung maupun melalui media sosial.

Alhasil, angka keikutsertaan TKI ilegal dalam proses rehiring pun meningkat dari sekitar 20 ribu pada tahun lalu menjadi 35 ribu pada 2017.

Lewat razia besar-besaran yang dilakukan dari 1-10 Juli, aparat keamanan Malaysia telah menangkap sedikitnya 3.014 pekerja asing ilegal dan 57 majikan. Sedangkan TKI ilegal yang ditangkap pada periode yang sama sebanyak 695 orang.

Mereka yang ditangkap adalah TKI ilegal yang belum mendaftar dan belum mempunyai E-Kad.

Agar bisa pulang ke negara asalnya, para TKI ilegal yang tertangkap tersebut bisa mengikuti mengikuti program deportasi secara sukarela dengan membayar 800 RM atau jika tidak mempunyai biaya mereka bisa dideportasi gratis tetapi harus melalui proses penahanan oleh aparat Malaysia terlebih dahulu.

PATI yang ditangkap akan melalui proses penyelidikan selama dua pekan. Selama proses tersebut mereka tidak boleh didampingi oleh penasehat hukum maupun pejabat kedutaan besar.

Melihat lamanya proses hukum, dikhawatirkan terjadi kelebihan kapasitas di rumah penahanan di Malaysia. Oleh karena itu, Pemerintah Indonesia pun telah meminta akses kekonsuleran terhadap para PATI yang ditahan di Malaysia.

"Kita sudah minta beberapa hal kepada Pemerintah Malaysia. Kita minta akses kekonsuleran dan KBRI sudah mendapatkan akses kekonsuleran untuk bertemu dengan PATI kita yang ditahan di depo Bukit Jalil." kata Iqbal.

Selain itu, pemerintah juga meminta jaminan agar para TKI ilegal yang ditangkap mendapatkan perlakuan yang baik dan hak-haknya dihormati sejak proses penangkapan hingga proses pemulangan.

Iqbal mengatakan jika proses deportasi biasanya memakan waktu 3-6 bulan, oleh karena itu pemerintah juga telah meminta agar proses hukum dan pemulangan TKI agar dipercepat.

Hubungan timbal balik

Selama ini, proses deportasi TKI terus berjalan. Setiap pekannya, sekitar 300-400 TKI dipulangkan dari Johor Bahru, Malaysia. Jumlah TKI yang dideportasi dari Johor Bahru pun bisa mencapai 18 ribu tiap tahunnya.

Kenapa masalah TKI ini terjadi terus menerus? Statistik menunjukkan bahwa jumlah penduduk Malaysia kurang lebih 30 juta, sementara penduduk Indonesia mencapai 250 juta.

Dari sisi itu, memang pasokan tenaga kerja Indonesia jauh lebih banyak dari Malaysia.

Sedangkan PDB per kapita Malaysia mencapai kurang lebih 11 ribu Dollar AS, tiga kali lipat PDB per kapita Indonesia yang hanya berkisar di angka 3.600 Dollar AS.

"Dari fakta ini, bisa kita antisipasi bahwa dalam beberapa tahun ke depan aliran tenaga aliran tenaga kerja Indonesia yang datang ke Malaysia untuk bekerja akan selalu terjadi. Dan sebaliknya, Malaysia juga akan selalu membutuhkan tenaga kerja Indonesia," kata Direktur Asia Tenggara Kemlu Denny Abdi.

Dalam jangka panjang, hubungan tersebut sebenarnya bersifat timbal balik. Bukan hanya warga negara Indonesia yang butuh mencari kerja, namun Malaysia pun sebenarnya membutuhkan tenaga kerja asing.

Perspektif itu lah yang sedang dicoba diletakkan dalam hubungan kedua negara, kata Denny.

"Harapannya supaya ke depannya tangan kita tidak selalu di bawah, kita selalu menyuplai, tapi Malaysia juga berkepentingan," kata Denny.

Pemerintah Indonesia pun terus berupaya untuk menghidupkan kembali MoU penempatan TKI sehingga ada dasar hukum pengiriman tenaga kerja ke Malaysia dan memberikan perlindungan kepada para TKI yang bekerja di sana.

Indonesia sudah mengirimkan draft MoU terkait penempatan TKI ke Malaysia pada November tahun lalu, tapi sampai saat ini Malaysia belum menunjukkan kesediaannya untuk membahas draft tersebut.

"Kita menyambut langkah-langkah Pemerintah Malaysia untuk melegalkan tenaga-tenaga yang di sana. Dan kami juga akan berusaha secara proaktif untuk mengajak Pemerintah Malaysia untuk menyelesaikan masalah-masalah tersebut," kata Denny.

Prinsipnya, Indonesia menghormati kedaulatan hukum Malaysia, tambah Hermono. Namun, apabila Malaysia memandang ada keperluan untuk mencari solusi yang lebih komprehesif, Indonesia dalam posisi siap untuk membantu dan mencari pemahaman bersama kedua negara.