Kasus Kematian Harimau di Riau Menurun, Bukan Berarti Positif

id kasus kematian, harimau di, riau menurun, bukan berarti positif

Pekanbaru, (Antarariau.com) - Organisasi perlindungan satwa WWF menyatakan kasus kematian harimau sumatera akibat perburuan dan konflik terus menurun selama sekitar tujuh tahun terakhir di Provinsi Riau.

Meski begitu, Humas WWF Program Riau Syamsidar di Pekanbaru, Sabtu, mengatakan bahwa tren penurunan tersebut belum bisa disimpulkan sebagai hal yang positif.

"Hal ini bisa jadi disebabkan karena semakin sulitnya mendapatkan harimau untuk diburu karena jumlah yang semakin sedikit, atau pun habitat yang semakin sempit sehingga pemburu harus masuk jauh ke dalam kawasan hutan," kata Syamsidar kepada Antara.

Syamsidar menyatakan hal ini terkait peringatan Hari Harimau Sedunia (World Tiger Day) yang diperingati secara global setiap 29 Juli. Hari Harimau Sedunia adalah perayaan tahunan untuk meningkatkan kepedulian terhadap usaha konservasi harimau. Pertama kali digagas di "Saint Petersburg Tigger Summit" pada tahun 2010. Tujuan dari perayaan ini adalah untuk mempromosikan sistem global untuk melindungi habitat alami harimau dan meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap isu konservasi harimau.

Berdasarkan data WWF periode 2010-2017 di Riau, hingga pertengahan ini tercatat ada dua kasus harimau sumatera mati akibat perburuan. Jumlah itu sama seperti tahun 2016, namun menurun dibandingkan 2015 yang merupakan tahun tertinggi kematian satwa dilindungi itu yang mencapai empat ekor.

Kasus harimau yang diperdagangkan di Riau, yang berasal dari provinsi tetangga, sejak 2015 tercatat nihil dan jauh menurun ketimbang tahun 2010, yang tercatat ada lima kasus. Kemudian kasus kematian harimau akibat konflik tercatat ada satu kasus pada 2017, yang merupakan pertama sejak terakhir terjadi pada lima tahun silam.

Sementara itu, korban jiwa manusia akibat konflik dengan harimau tidak pernah lagi terjadi sejak enam tahun lalu. Kondisi serupa juga terjadi pada kasus korban cedera dari manusia yang hingga kini belum ada sejak empat tahun silam.

Menurut Syamsidar, WWF menilai upaya penegakan hukum juga berperan untuk menekan angka kasus kematian satwa belang itu serta mencegah konflik manusia-harimau. Penegakan hukum terhadap perburuan dan perdagangan harimau semakin intensif dilakukan oleh Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam, Balai Penegakan Hukum dan kepolisian dalam dua tahun terakhir.

Di Riau sendiri, keberhasilan penegak hukum menangkap dua pelaku pengumpul kulit harimau dan satwa liar lainnya di awal 2016, berlanjut dengan divonis dengan hukuman paling tinggi yang pernah terjadi tidak hanya di Riau bahkan mungkin di Indonesia.

Pengadilan Negeri Rengat Kabupaten Indragiri Hulu, Riau, memvonis empat tahun penjara dan denda Rp50 juta kepada dua pelaku pengumpul kulit harimau tersebut, hampir mendekati hukuman maksimal sesuai Undang-Undang NO. 6 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam.

"Komitemen majelis hakim Pengadilan Negeri Rengat kembali ditunjukan dengan memvonis dua pelaku perantara penjual kulit harimau yang tertangkap diperbatasan Jambi-Inhu, Riau. Hukuman yang maksimal diharapkan dapat membuat para pelaku berpikr ulang untuk melakukan kegiatan kejahatan satwa liar," pungkas Syamsidar.

Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae) merupakan satu dari enam sub-spesies harimau yang masih bertahan hidup hingga saat ini dan termasuk dalam klasifikasi satwa kritis yang terancam punah. Berdasarkan data WWF pada 2004, jumlah populasi harimau Sumatera di alam bebas hanya sekitar 400 ekor saja. Mereka menghadapi dua jenis ancaman untuk bertahan hidup, yakni kehilangan habitat karena tingginya laju deforestasi dan terancam oleh perdagangan ilegal dimana bagian-bagian tubuhnya diperjualbelikan dengan harga tinggi di pasar gelap untuk obat-obatan tradisional, perhiasan, jimat dan dekorasi.

Harimau Sumatera hanya dapat ditemukan di pulau Sumatera. Provinsi Riau adalah rumah bagi sepertiga dari seluruh populasi harimau Sumatera. Program Nasional Pemulihan Harimau Indonesia sekarang merupakan bagian dari tujuan global dan meliputi enam lansekap prioritas Harimau Sumatera ini: Ulumasen, Kampar-Kerumutan, Bukit Tigapuluh, Kerinci Seblat, Bukit Balai Rejang Selatan, dan Bukit Barisan Selatan.

Sekalipun sudah dilindungi secara hukum, populasi harimau terus mengalami penurunan hingga 70 persen dalam seperempat abad terakhir. Pada tahun 2007, diperkirakan hanya tersisa 192 ekor harimau Sumatera di alam liar Riau.