Begini Caranya Tekan Angka Karhutla Riau Menurut Akademisi

id begini caranya, tekan angka, karhutla riau, menurut akademisi

Begini Caranya Tekan Angka Karhutla Riau Menurut Akademisi

Pekanbaru (Antarariau.com) - Akademisi Universitas Riau, Dr Djaimi Backe menilai salah satu upaya menekan angka kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) yang saat ini mulai marak di Provinsi Riau adalah dengan melibatkan masyarakat sebagai bagian satuan tugas (Satgas) Karhutla.

"Cara pertama adalah dengan melibatkan masyarakat, dan harus dimulai dari desa. Jadi masyarakat sendiri yang jadi bagian Satgas," katanya di Pekanbaru, Rabu.

Dia menilai langkah itu penting untuk dilakukan karena saat ini Karhutla terjadi di lahan-lahan masyarakat dengan skala kecil, namun menyebar di sejumlah daerah, terutama kawasan gambut.

Djaimi yang juga aktif di Pusat Penelitian Perkebunan Gambut dan Pedesaan Universitas Riau mengatakan pihaknya bersama dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan( KLHK) tahun lalu mulai membuat program percontohan masyarakat peduli api. Salah satu desa binaannya terdapat di Kabupaten Siak.

Melalui kegiatan itu, dibentuk kelompok-kelompok masyarakat untuk memetakan wilayah yang rawan Karhutla. Masyarakat juga diminta untuk membuat perencanaan dan pemanfaatan gambut sebagai sumber ekonomi.

"Mereka yang buat apa kebutuhannya, mereka juga yang mengeksekusi pelaksanaannya. Ya Alhamdulillah akhirnya tidak ada masyarakat di situ yang bakar lahan, artinya pencegahannya berhasil," ujarnya.

Untuk itu, dirinya berharap program itu dapat diteruskan dan diperluas, baik oleh Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Provinsi Riau.

Selanjutnya, dalam upaya mengembangkan sumber ekonomi baru serta mata pencarian bagi masyarakat yang tinggal di kawasan gambut, dia mengatakan harus ada peran aktif pemerintah.

"Lahan gambut bisa dikelola dengan tanpa merusak. Misal ditanani nanas, bunga rosella atau lidah buaya," tuturnya.

Selanjutnya, Pemerintah juga diminta dapat memberikan pelatihan pengolahan hasil pertanian tersebut. Seperti membuat produk dodol atau selai nenas, atau olahan makanan lidah buaya sehingga ekonomi masyarakat yang tinggal di kawasan gambut meningkat.

Lebih jauh, dia turut menyinggung penegakan hukum sebagai upaya menekan angka Karhutla di Riau. Masyarakat yang membakar hutan kerap menganggap tindakannya diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Ia mengatakan UU tersebut masih dijadikan masyarakat sebagai alasan untuk membakar lahan, karena memang diatur masyarakat boleh membakar lahan sebagai wujud kearifan lokal, maksimal 2 hektar per Kepala Keluarga. Regulasi tersebut sering disalah artikan oleh masyarakat.

"(Terkait UU) kita harus tegas-tegas saja, jadi tidak usah tanggung-tanggung, ini boleh ini tidak boleh, setengah-setengah jadinya," ujarnya.

Djaimi menjelaskan sebelumnya memang ada kearifan lokal membuka lahan dengan cara dibakar di Riau, yang disebut budaya Merun. Hanya dalam praktiknya masyarakat sekarang menjadikan regulasi untuk membakar lahan sembarangan. Untuk itu, dia meminta agar tidak ada lagi regulasi yang membolehkan membakar, karena teknologi sekarang sudah jauh lebih baik, salah satunya mekanisasi pertanian.

Dalam dua pekan ini, selain Aceh kebakaran lahan juga banyak terjadi di Provinsi Riau. Sebagian besar terjadi di pesisir timur meliputi Rokan Hilir, Dumai, Bengkalis, Pelalawan, dan Indragiri Hilir dengan luasan terbakar mencapai puluhan hektare.

Bahkan, dalam beberapa hari terakhir titik-titik api dengan kebakaran berkisar dua hingga puluhan hektare. Satuan Tugas Kebakaran Lahan dan Hutan Provinsi Riau terus melakukan pemadaman baik melalui darat maupun udara dengan bom air.

Secara keseluruhan sepanjang tahun 2017 hingga kini sudah terjadi total 98 kasus kebakaran lahan dengan luas hampir 500 hektare hangus terbakar. Namun jajaran Kepolisian di Provinsi Riau baru bisa menangkap 10 orang tersangka pembakar lahan.