Kantin Halal Menyeruak di Tengah Fobia Islam

id kantin halal, menyeruak di, tengah fobia islam

Kantin Halal Menyeruak di Tengah Fobia Islam

Beijing, (Antarariau.com) - Awalnya hanya unggahan seorang mahasiwa terkait ruang makan di salah satu kampus, namun dalam beberapa pekan berubah menjadi perdebatan luas di China karena pemerintah dianggap terlalu berpihak kepada umat Islam.

Perdebatan tersebut bermula dari seorang pengguna media sosial Weibo yang mengaku bekas mahasiswa Ningxia University di Yinchuan.

Wilayah Otonomi Ningxia yang beribu kota di Yinchuan itu banyak dihuni kaum Hui, salah satu etnis China yang beragama Islam.

Dalam postingannya, bekas mahasiswa itu mengeluhkan terbatasnya ruang makan nonhalal di kampusnya.

Menurut dia, hanya ada satu ruang makan nonhalal di distrik A dan distrik C kampus yang mahasiswanya mayoritas beretnis Han itu.

Perdebatan makin panas saat seseorang yang mengaku mahasiswa perguruan tinggi tersebut memposting cuplikan layar percakapan (screenshot) di antara para mahasiswa baru.

Dalam percapakan tersebut, seorang mahasiswa beretnis Han mengatakan akan makan daging babi di depan mahasiswa beretnis Hui.

Lalu seorang mahasiswa yang diduga beretnis Hui meresponsnya, "Jika kamu melakukan hal itu, saya akan bertindak."

Wajar saja perdebatan tersebut menjadi viral, terutama reaksi dari beberapa masyarakat di daratan Tiongkok yang masih fobia terhadap Islam.

"Kampus itu, cepat atau lambat akan menjadi basis kelompok teroris," demikian salah satu komentar di Weibo yang dikutip salah satu media resmi di China.

"Anda harus bisa menghormati orang lain," ucap seorang lainnya memberikan komentar.

Pan-Halal

Pihak terkait di kampus Ningxia University belum berhasil dimintai komentar mengenai hal itu.

Namun pada pekan lalu, akun resmi kampus tersebut di Weibo memublikasikan tanggapan singkat atas persoalan tersebut dengan menyatakan bahwa terkait perbedaan pelayanan makanan dosen dan mahasiswa, pihak kampus akan mengaturnya secara bertahap, termasuk renovasi ruang makan pada musim panas ini agar bisa memberikan pilihan lebih banyak lagi makanan nonhalal.

Pernyataan itu juga menyebutkan bahwa sikap mahasiswa baru beretnis Hui dalam perdebatan jejaring sosial tidak mencerminkan sebagai kebijakan kampus.

Pernyataan yang dibuat pihak kampus mengungkapkan bahwa mahasiswa itu telah meminta maaf atas kata-kata yang diunggah di jejaring sosial.

Kepada Global Times, beberapa mahasiswa menuturkan bahwa mereka bingung karena pilihan makanan sangat terbatas.

Seorang lulusan Ningxia University beretnis Han dengan marga Pan kepada media milik partai berkuasa di China itu mengaku tidak setuju dengan kecaman terhadap kampusnya karena dia berpikir banyak orang tidak bisa membedakan antara teroris dan kehidupan sehari-hari umat Islam.

Menurut dia, saat berada di dalam kampus hubungannya dengan beberapa mahasiswa beretnis Hui sangat harmonis dan dia tidak pernah menemukan mereka sebagai bagian dari kelompok berhaluan garis keras.

Dia melihat Han dan Hui saling menghormati. Secara pribadi dia saat menghindari menyinggung perasaan mereka demi menjaga kebaikan bersama.

Seorang mahasiswi beretnis Hui tinggal di Yinchuan mengaku permintaan mahasiswa beretnis Han itu bagian dari kelemahan pengaturan sistem pelayanan makanan di kampus.

"Saya pikir tuntutan itu wajar karena orang Han bisa makan keduanya, halal dan nonhalal. Tidak masalah mereka ingin makan apa, yang penting kebutuhan dipenuhi," ujarnya.

Dia menuding perdebatan tersebut dimunculkan oleh kelompok garis keras yang memiliki tendensi panhalalisme, seperti melarang orang lain makan daging babi di depan mereka.

Bahkan, menurut dia, rekannya dari etnis Han yang tinggal satu asrama dengannya sering makan masakan darah babi di depannya.

Meskipun demikian, dia mengaku sangat sedih dengan komentar-komentar di media sosial tentang anti-Islam.

Fobia

Beberapa fenomena meningkatnya Islam Fobia di antaranya dapat dilihat dari komentar warganet yang menyebut Islam dengan istilah baru "Agama Hijau" karena Islam diasosiasikan dengan warna hijau.

Setiap ada berita serangan teroris di negara-negara Barat, warganet menganggap bahwa Eropa akan "dihijaukan" atau akan diduduki bangsa hijau.

Beberapa di antara mereka bahkan menyebut Eropa dengan "Eropestan" dan Paris dengan "Paristan".

Sentimen terhadap Islam tersebut dipicu oleh kebijakan negara-negara Eropa terhadap para pengungsi, khususnnya keputusan Kanselir Jerman Angela Merkel, dalam menerima pengungsi dari negara-negara Islam.

Di China, perhatian lebih ditujukan pada panhalalisme yang pola pikirnya sudah merasuk dalam kehidupan sekular.

Pada bulan lalu, Meituan, perusahaan jasa pengantaran makanan di China mengeluarkan aplikasi "Halal Channel".

Dalam iklan daringnya, perusahaan tersebut menyatakan bahwa makanan halal dan nonhalal akan ditempatkan pada kotak berbeda oleh petugas pengantaran yang menggunakan sepeda elektrik. Hal itu memicu kritikan publik.

Prof Xiong Kunxin, seorang guru besar Minzu University of China di Beijing mengatakan bahwa panhalalisme di China sering menuntut hal yang tidak masuk akal, seperti air, jalan, dan toilet.

"Kesalahan pemikiran seperti itu hanya menimbulkan kelompok tersebut menjadi terasing dan bisa memicu kesalahpahaman," ujar Xiong.

Xi Wuyi, pakar Marxisme di Chinese Academy of Social Sciences yang selalu mengkritisi panhalalisme mengaku mengikuti kontroversi kantin halal di Ningxia University.

"Kita seharusnya menghormati pola makan etnis tertentu. Namun pola tersebut tidak boleh dipaksakan pada kelompok lain yang sekular. Saat para mahasiswa Han yang menjadi mayoritas dalam kampus tersebut tidak bisa memilih makanan nonhalal, maka dapat mengikis budaya sekular di kampus itu dan melanggar asas-asas kebersamaan masyarakat China," ujarnya kepada Global Times, Selasa (15/8).

Kebijakan Domestik

Kebijakan dalam negeri pemerintah China terkait masalah etnis mengarahkan pembelaan terhadap kelompok etnis minoritas demi tercapainya tujuan bersama.

Kebijakan seperti itu menimbulkan pernyataan dari kalangan etnis Han sebagai kelompok mayoritas di China.

Di beberapa bidang, etnis minoritas mendapatkan keuntungan dari ujian nasional. Bahkan pemerintah lokal sering kali mempertimbangkan rasio Han dan non-Han dalam setiap pengambilan kebijakan.

Beberapa persoalan pun muncul karena kebijakan tersebut bisa mendiskriminasikan orang-orang Han.

Setiap tahun para orang tua dan wali murid sekolah menengah atas protes mengenai ketidakadilan, terutama realitas mengenai beberapa anak dari etnis minoritas bisa lulus ujian nasional lebih mudah dibandingkan dari kalangan etnis Han.

Keluhan di media sosial mengenai konflik antara Muslim dan non-Muslim muncul terkait perlakuan khusus, baik kebijakan maupun hukum, dengan dalih demi persatuan bersama.

Komunitas Muslim lebih mampu memobilisasi diri sendiri untuk membela kepentingannya, demikian unggahan di medsos.

Marshall Ma, seorang Muslim beretnis Hui asal di Xi'an mengatakan bahwa lima generasi keluarganya telah mendiami di Ibu Kota Provinsi Shaanxi tersebut.

Selama masa itu pula keluarganya bisa berbaur dengan budaya masyarakat setempat.

Menurut dia, komentar-komentar terkait fobia Islam itu terus ada karena mereka sengaja menciptakan pertentangan antara muslim dan nonmuslim.

"Jangan selalu mengaitkan tentang adanya upaya negara ini akan 'dihijaukan'," ujarnya.

"Keberadaan Islam di China sudah lebih dari 1.000 tahun. Masyarakat China bisa hidup dengan umat Islam dan terus berbaur hingga kini. Mereka yang mengaku anti-Islam hanya akan melawan para pencoleng, kaum idiot, pembohong, dan kelompok garis keras," ucap Ma.