Pengadilan ICC Solusi Keadilan Untuk Rohingya

id pengadilan icc, solusi keadilan, untuk rohingya

Pengadilan ICC Solusi Keadilan Untuk Rohingya

Pekanbaru (Antarariau.com) - Tudingan miring di seluruh dunia kini terus diarahkan pada Aung San Suu Kyi saat terjadi kekerasan pada etnis Rohingya di Myanmar.

Desakan agar nobel perdamaian yang diterima Suu Kyi dari PBB harus dicabut juga terus menguat.

Padahal ada satu nama yang tak bisa dilepaskan dari pelanggaran HAM di Myanmar. Dia adalah Jenderal Senior Min Aung Hlaing, panglima tertinggi seluruh angkatan bersenjata Myanmar. Aung San Suu Kyi tak memegang kendali atas pasukan dan semua kebijakan kemananan ada di bawah Jenderal Min.

Namun, Myanmar tak pernah sepi dari aneka pemberontakan bersenjata. Ada saja daerah yang ingin memerdekakan diri dari pemerintah di Yangon dan Naypyidaw misalnya. Junta militer tak mengenal kompromi.

Operasi militer adalah jawaban dari semua suara ketidakpuasan. Tidak cuma gerilyawan yang dibunuh, warga sipil juga harus merasakan tindakan represif Tatmadaw, sebutan untuk militer Myanmar, mulai dari relokasi paksa, pembunuhan, pemerkosaan dan kerja paksa di bawah militer.

Secara umum orang berpendapat, krisis Rohingya di Myanmar adalah masalah agama. Tetapi menurut Kepala bidang penelitian pada South Asia Democratic Forum, Siegfried O Wolf, krisis ini lebih bersifat politis dan ekonomis.

Dari sisi geografis, penduduk Rohingya adalah sekelompok penganut Muslim yang jumlahnya sekitar satu juta orang dan tinggal di negara bagian Rakhine. Wilayah Rakhine juga ditempati oleh masyarakat yang mayoritas memeluk agama Budha. Rakhine dikenal sebagai wilayah yang kaya akan sumber daya alam.

Tetapi hal itu menjadi timpang ketika pada kenyataannya tingkat kemiskinan di sana ternyata tinggi.

"Komunitas warga Rakhine merasa didiskriminasi secara budaya, juga tereksploitasi secara ekonomi dan disingkirkan secara politis oleh pemerintah pusat, yang didominasi etnis Burma. Dalam konteks spesial ini, Rohingya dianggap warga Rakhine sebagai saingan tambahan dan ancaman bagi identitas mereka sendiri. Inilah penyebab utama ketegangan di negara bagian itu, dan telah mengakibatkan sejumlah konflik senjata antar kedua kelompok," kata Siegfried O Wolf dikutip dari hasil wawancara media Jerman.

Sementara itu pengamat masalah internasional dari UNRI, Dr Erdianto SH, M.Hum bependapat bahwa tragedi kemanusian di Rakhine, Myanmar bukan sekedar konflik antara pemerintah dengan pemberontak tetapi terjadi "pembantaian etnis" atau kejahatan genosida.

Peristiwakekejaman serupa telah mengantarkan diadilinya para pemimpin Rwanda dan Serbia ke Mahkamah Ad Hoc Internasional dengan tuduhan kejahatan kemanusiaan.

Itu juga yang melatarbelakangi berdirinya Mahkamah PidanaInternasional (ICC) di Den Haag, Belanda. Jika standar HAM negara-negara dunia dan PBB tidak bersifat ganda, maka sudah tidak ada alasan lagi untuk tidak menyeret para pemimpin Myamar ke Mahkamah Pidana Internasional meskipun Myanmar tidak tergabung sebagai anggota ICC.

Terobosan hukum dalam berbagai sidang HAM ad hoc seperti Nurenberg, Tokyo, Rwanda dan Serbia, sudah cukup untuk dijadikan yurisprudensi.

"Isu Rohingya bukan sekadar isu separatisme terapi isu kemanusiaan, isu pembantaian umat manusia di era teknologi informasi.

Di Indonesia, seharusnya lah para pembela mereka yang disebut sebagai korbanpersekusi beberapa waktu lalu sama lantangnya beteriak untuk menegakkan hukum-hukum kemanusiaan universal terhadap pembantaian di Myanmar," katanya.

Lupakan apa agama anda, abaikan apa agama masyarakat Rohingya, sempatkan diri untuk menonton video kekerasan di Rakhine, jika jujur pada hati nurani anda, tentu lah hati anda memberontak dan marah, karena mereka adalah manusia seperti anda, mereka dan kita semua.

Jika para pemimpin Myamar menolak masalah Rohingya sebagai masalah agama, maka jika ini dikatakan masalah kejahatan genosida dan kejahatan kemanusiaan, seharusnya tidak dapat mereka bantah.

"Apa yang hari ini terjadi di Myamar bukan sekedar sebagai pelanggaran terhadap hukum dan kebiasaan perang, tetapi jugapembantaian etnis (genocide), sekaligusjuga kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity),"kata dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum dan Pascasarjana Universitas Riau itu yang sering menulis disertasi dan buku tentang separatisme

Ia menekankan bahwa yang termasuk dalam kategori kejahatan terhadap kemanusiaan adalah perkosaan, perbudakan, pemusnahan, dan penganiayaan karena alasan potitis, rasial dan agama. Berdasarkan Piagam Perserikatan Bangsa-bangsa, kejahatan yang bisa dibawa ke peradilan Internasional adalah kejahatan perang (crimes agaist -war), kejahatan melawan kemanusiaan (crime against humanity), kejahatan terhadap Konvensi Jenewa tahun 1949, dan kejahatan melakukan agresi.

Harus Diintervensi PBB

Pengamat Hukum Internasional UNRI Dr. Evi Deliana HZ LLM mengisyaratkan pemerintah RI untuk mendesak PBB agar menegur Myanmar atas kasus kekerasan pada etnis Rohingya di Myanmar mengakibatkan puluhan warga sipil terpaksa mengungsi ke Bangladesh.

"Walaupun RI bukan anggota tetap Dewan KeamananPBB, desakan demikiantersebut perlu terus disuarakan, agar tragedi kemanusiaan etnis Rohingya di Myanmar bisa diatasi,"kata Evi Deliana.

Menurut dia, selain memberikan teguran lebih tegas pada Myanmar, PBB juga perlu memberikan perhatian yang lebih serius lagi agar etnis Rohingya mendapatkan keadilan. Walaupun RI bukan merupakan anggota tetap Dewan Keamanan PBB,desakan tersebut tetap perlu terus menerus disuarakan begitu pula menggalang suara dari negara-negara ASEAN.

"Selain itu, Pemerintah RI juga perlu menggalang kekuatan untuk mencari solusi bersama, hanya untuk menyangkut urusan kemanusian itu. Memang dalam Piagam ASEAN memuat aturan disepakati bahwa antar negara ASEAN tidak boleh saling intervensi denganurusan dalam negeri masing-masing negara di ASEAN yang dinilai sangat sensitif," katanya.

Namun demikian untuk contoh kasus etnis Rohingya, katanya lagi,akan memberikan pengaruh terhadap stabilitas negara yang bersangkutan terkait banyaknya pendatang ilegal karena tidak memiliki surat-surat ijinmasuk ke suatu negara. Namun demikian Pemerintah RI memang harus terus menerus mengingatkan pemerintah Myanmardalam konteks persahabatan ASEAN.

Pemerintah Indonesia katanya, juga perlu memberikan perhatian atau memberi akses pada pengungsi Rohingya misalnya menyediakan Pulau Galang bagi penampungan sementara untuk pengungsi Rohingya. Dan bersama UNHCRPBB, katanya, etnis Rohinggya bisa diberiakan status pengungsi.

Ia memandang bahwa tragedi etnis Rohingya dipicu dengan berbagai persoalan yang kompleks, agama, politik dan ekonomi terkait SDA di Myanmar yang sangat potensial direncanakan untuk dikembangkan bersama dengan Cina.

Terkait tuduhan masyarakat internasional atas telah terjadinya kasus pembunuhan massal (genocide), Evi menyebutkanbelum ditemukan berdasarkan Pendapat Dubes Myanmar untuk Indonesia, menyatakan bahwa belum ditemukan bukti adanya pembunuhan itu namun demikian pengusiran masih tetap terjadi.

"Sudah tepat jika PBB menurunkan tim untuk melakukan penelitian atas kasus genocide itu, diharapkan persoalan di Myanmar bisa diselesaikan dengan baik ,"katanya.

Perhatian forum agama

Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Provinsi Riau menyampaikan tujuh pernyataan sikap pada Pemerintah RI agar segera bertindak mencari solusi penyelesaian secara diplomasi dan sosial kemanusiaan untuk menyelesaikan konflik antara etnis Rohingya dan mayoritas penduduk Myanmar (budha).

"Konflik tersebut seolah tak berkesudahan mirisnya puluhan ribu warga Rohingya terlunta-lunta mengungsi ke negara lain, termasuk Indonesia. Karenaitu Pemerintah Indonesia agar proaktif menggalang kerja sama regional dan internasional untuk menjatuhkan sanksi ekonomi kepada negara Myanmar," kata Ketua FKUB Provinsi Riau Ir H Nasrun Efendi MT.

Kebijakan tersebut menurut FKUB perlu ditempuh sebabdi Myanmar, etnis Rohingya (muslim) tidak diakui sebagai warga negara. Mereka kesulitan memperoleh akses kesehatan, pendidikan dan perumahan yang layak dan lebih memprihatinkan kekerasan dan kekejaman juga terus terjadi.

Bagian lainnya dari tujuh pernyataan sikap FKUB adalah mendesak badan internasional pemberi nobel perdamaian untuk mencabut hadiah nobel yang sudah diberikan kepada Aung San Suu Kyi, dan meminta segenap umat beragama untuk menggalang dana atau bantuan kemanusiaan.

Selain itu, umat beragama di Indonesia agar tidak terprovokasi yang bisa memecah-belah persatuan dan kerukunan serta mendesakDewan Keamanan PBB dan UNHCR untuk menempatkan pasukan penjaga perdamaian di Myanmar serta melakukan penyidikan atas tindakan kejahatan kemanusian dan mengadilinya ke Mahkamah Internasional.

"Pernyataan sikap yang ditandatangani oleh seluruh anggota FKUB yang merupakan perwakilan tokoh agama dan ormas keagamaan di Riau itu akan disampaikan ke pusat, sebagai ungkapan masyarakat Riau terhadap tindakan yang tidak manusiawi oleh Myanmar,"kata Nasrun.

FKUB beranggotakan Majelis Ulama Indonesia Provinsi Riau, Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia Wilayah Riau, Perwakilan Umat Buddha Indonesia (Walubi) Prov. Riau, Rawil KWI Provinsi Riau, Parisadha Hindu Dharma Indonesia (PHDI), Majelis Agama Khonghucu Indonesia (Makin) Riau.

Selain itu, anggota Majelis Budhayana Indonesia (MBI) Provinsi Riau, Front Pembela Bumi Lancang Kuning, Mathlaul Anwar Provinsi Riau, Badan Kontak Majelis Taklim (BKMT) Provinsi Riau,Ikatan Dai Indonesia (Ikadi) Provinnsi Riau, Majelis Dakwah Indonesia (MDI) Provinsi Riau,Paguyuban Pesantren Provinsi Riau,BKGR Provinsi Riau,PGLII Provinsi Riau,PBI Provinsi Riau dan

PGPI Provinsi Riau.

Tujuh pernyataan sikap itu juga ditandatangani Kakanwil Kemenag Riau yang diwakili oleh Kabid Penaiszawa HM Saman S Sos, Kasubbag Hukum dan KUB H Anasri M Pd, Sekertaris FKUB Riau Pnt Drs. Japet V Ginting.