Menelisik Empati RS Demi Kemanusiaan

id menelisik empati, rs demi kemanusiaan

Pekanbaru (Antarariau.com) - Meninggalnya Debora, bayi berusia empat bulan, di Rumah Sakit Mitra Keluarga Kalideres, Jakarta yang diduga karena tidak tertangani dengan baik setelah orangtuanya berniat menggunakan kartu BPJS Kesehatan baru baru ini menjadi bagian dari sekian kisah pilu yang dialami anak bangsa.

Pengguna kartu BPJS Kesehatan ditolak karena RS Mitra Keluarga belum bekerjasama dengan BPJS Kesehatan. Mirisnya untuk mendapatkan pelayanan umum pun orang tua Debora tidak memiliki anggaran yang cukup.

Kasus ini tidak perlu harus terjadi jika RS memandang tugas dan fungsi mereka sebuah empati untuk lebih menyelamatkan Debora demi kemanusian.

Selain itu, kasus ini tidak perlu terulang di masa datang jika regulator berperan memberikan penegasan agar manajemen RS memberikan informasi tentang ketersediaan PICU dan NICU. Dan informasi ini setiap saat harus diperbaharui terhadap RS yang sudah bermitra dengan BPJS Kesehatan.

Apalagi menyangkut hak seorang anak setelah lahir ke dunia sudah dikukuhkan dalam UUD 1945 dan juga berdasarkan Konvensi Hak Anak PBB Tahun 1989 meliputi sepuluh item, di antaranya hak untuk mendapatkan akses kesehatan.

Deputi BPJS Kesehatan Wilayah Sumbagteng, Siswandi berharap agar jangan sampai lagi terjadi "lempar-lemparan" dari manajemen RS kepada keluarga pasien untuk mondar-mandir mencari RS lainnya. Padahal setiap RS wajib memiliki ruang PICU dan NICU agar bayi berkebutuhan khusus bisa tertangani dengan baik.

Keberadaan PICU dan NICU bagi RS bagian dari syarat RS untuk bisa bekerjasama dengan BPJS Kesehatan. Namun dilematis memang, ketika BPJS Kesehatan tidak memiliki kewenangan untuk memaksa agar RS bermitra dengan BPJS Kesehatan.

"Namun demikian kebijakan ini merupakan amanat UU dan ketika sudah sampai tahun 2019 target dari pencapaian pelayanan kesehatan menyeluruh itu (Universal Health Coverage) atau UHC bagi setiap penduduk maka RS harus bermitra dengan BPJS Kesehatan," katanya.

Ia menjelaskan, saat ini RS yang melamar ingin bekerjasama dengan BPJS Kesehetan sudah banyak namun masih banyak yang belum memenuhi persyaratan di antaranya perlu menegakkan komitmen bahwa RS tidak boleh menarik iur biaya kepada pasien BPJS Kesehatan.

Di samping syarat wajib lainnya juga ketersediaan sarana dan prasana lengkap untuk menangani pasien-pasien rawat inap, ICU, PICU dan NICU itu. Untuk ketersediaan sarana tersebut maka manajemen RS juga perlu mempublishnya melalui program aplicares atau media cetak tentang kamar NICU dan PICU penuh atau kosong.

"Demi kamanusiaan komitmen tersebut dibutuhkan agar RS tidak saling lempar-lemparan untuk menangani pasien," katanya.

Total RS yang sudah bekerjasama dengan BPJS Kesehatan se-Kedeputian Wilayah Sumbagteng adalah untuk Provinsi Riau dengan tiga kantor Cabang yakni tercatat Kota Pekanbaru tercapai sebesar 88 persen, Dumai 60 persen, Tembilahan 100 persen.

Ia merinci, untuk Kedeputian BPJS Kesehatan Wilayah Sumbar pada Kantor Cabang Padang total RS terdapat sebanyak 42 unit terdiri atas RS pemerintah 8 unit dan RS swasta 20 unit (sudah 28 unit) maka capaian sebesar 67 persen.

Berikutnya kantor cabang Bukittinggi sebanyak RS 14 unit, terdiri atas RS Pemerintah 6 unit dan RS swasta 8 unit, total 14 unit dan tercapai 100 persen.

Pada kantor Cabang Solok sebanyak 7 RS dengan rincian RS pemerintah 8 unit, RS swasta nol, dan capaiannya 114 persen. Kantor Cabang Payakumbuh terdapat 4 RS, yang terdiri atas RS pemerintah 3 dan RS swasta 3, totalnya 6 atau pencapaiannya sudah 150 persen.

Di Provinsi Riau tercatat 41 RS dengan rincian RS Pemerintah 8 unit, dan 28 swasta, total 36 unit RS dan persentase pencapaiannya adalah baru 88 persen.

Kantor Cabang Dumai RS 17 terdiri atas 6 RS pemerintah dan 5 RS swasta total 11 atau pencapaiannya 65 persen. kantor Cabang tembilahan 8 RS, dengan rincian RS Pemerintah 5 unit, RS swasta 3unit , maka total 8 unit sedangkan pencapaian sudah 100 persen.

Untuk kantor cabang Jambi yakni tercatat 23 RS yang online, dengan rincian 17 RS pemerintah, 11 swasta total seluruhnya 21 unit dengan tingkat pencapaian sebesar 91 persen.

Kantor Cabang Muaro Bungo sebanyak 13 unit RS, dengan rincian RS pemerintah 5 unit, swasta 2 unit total pencapaian 7 unit atau baru 54 persen. Sedangkan keberadaan RS online di Provinsi Kepulauan Riau tercatat

di Batam sebanyak 18 RS online dengan rincian RS pemerintah 3 unit, RS swasta 15 unit, totalnya 18 unit atau pencapaian sudah 100 persen.

Kasus Bayi Pekanbaru

Tidak semua manjemen RS berkemauan "menolak pasien" dengan latar belakang kasus yang dipublikasikan media lokal di Pekanbaru baru-baru ini.

Koran lokal di Pekanbaru, mempublikasikan tentang penolakan rumah sakit terhadap seorang bayi berkebutuhan khusus dari pasangan Joni Oto dengan Miyati Taopan Warga RT 03 RW 01 Kelurahan Kulim Kecamatan Tenayan Raya, Pekanbaru.

Manajemen RSUD Arifin Achmad melakukan penolakan, seperti penuturan Joni Oto karena ruang rawat inap untuk anaknya penuh dan RS AA menyampaikan agar mencari RS lainnya.

"Saat ini, ibu bayi (Miyati Taopan, red) masih dirawat di Klinik Taman Sari II Harapan Raya, sedangkan bayinya sudah mendapatkan penanganan yang baik di RS Ibu dan Anak Eria Bunda Jalan Kiyai H. Ahmad Dahlan, Kota Pekanbaru," kata perawat senior Bagian Keluhan Pasien RS Ibu dan Anak Eria Bunda, Raulina Eva Priska Saragih.

Menurutnya, RS masih kebingungan mengenai siapa yang bakal membiayai pengobatan bayi Miyati Taopan yang berjenis kelamin laki-laki itu.

Petugas bagian Pendaftaran Pasien RS ibu dan Anak Eria Bunda, Rida, mengatakan pihaknya sudah meminta orang tua bayi untuk mengurus Kartu Jamkesda.

"Alur pengurusan untuk mempeorleh kartu tersebut sudah kami catatkan, mulai dari RT, RW, Kelurahan Camat, Dinas Sosial dan ke Dinas Kesehatan dengan tenggang waktu hingga Senin (18/9).

Sementara itu pemilik RS Ibu dan Anak Eria Bunda Pekanbaru, Dr. Riswanda SPA MHum mengatakan pada prinsipnya untuk kasus bayi Miyati Taopan adalah harus ditangani dulu dan anggap pasien adalah anak-anak kita.

"Kami tidak memikirkan hal-hal lain namun adalah menyelamatkan nyawa si anak terlebih dahulu karena sudah merupakan tanggungjawab kemanusiaan," katanya.

Riswanda mengatakan, manajemen RS yang dikelolanya senantiasa menerapkan motto "BPS" yakni Bila Pasien adalah Saya, sebagai ungkapan empati kita kepada mereka.

Jika tidak menyelamatkan pasien maka dokter melanggar sumpah profesi oleh karena itu cara berpikir profesional harus lebih diutamakan. Bahkan sudah banyak kasus serupa yang ditangani seperti ini.

Tidak terhitung biaya yang dikeluarkan untuk menjalankan kebijaksanaan tersebut, katanya.

"Sebagai seorang dokter, tentunya kami tetap diikat dengan sumpah dan kode etik, maka penyelamatan anak lebih utama," katanya.