Benny Dwika Leonanda: Kelangkaan Insinyur Sebabkan Efek Domino Ekonomi Indonesia

id benny dwika, leonanda kelangkaan, insinyur sebabkan, efek domino, ekonomi indonesia

Pekanbaru (Antarariau.com) - Ketua Program Studi Program Profesi Insinyur Universitas Andalas, Benny Dwika Leonanda mengatakan, pemerintah perlu mengalokasikan anggaran yang besar untuk operasional Program Studi Profesi Insinyur di perguruan tinggi.

"Pengalokasian anggaran yang cukup besar itu dibutuhkan untuk mengatasi kelangkaan insinyur, akibat telah diluluskannya insinyur dari salah satu Program Studi Profesi Insinyur (PS PPI) pada Agustus 2017 sehingga banyak bangunan fisik pengerjaannya terhenti," kata Benny yang dihubungi dari Pekanbaru, Selasa.

Permintaan tersebut disampaikannya juga terkait amanat dari UU Nomor 11 Tahun 2014 tentang Keinsinyuran bahwa insinyur yang diluluskan harus berasal dari Program Studi Profesi Insinyur (PS PPI). Jika UU tersebut dilanggar maka pelanggarnya dikenai sanksi pidana kurungan dua tahun atau denda Rp200 juta.

Menurut dia, ketidaktersediaan insinyur yang mencukupi justru akan membuat negara dalam keadaan genting. Dampak terusannya adalah ke pertumbuhan ekonomi dan pengangguran serta politik.

Produksi akan berhenti dan pelayanan kepada masyarakat akan terganggu.

Solusinya, menurut Benny, pemerintah harus menghasilkan insinyur dalam jumlah banyak melalui PS PPI. Kini di Indonesia sudah terdapat 18 PS PPI yang telah beroperasi pada semester genap 2017 dan dikelola oleh 40 universitas serta institut yang telah diberi mandat oleh Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi.

"Namun demikian masing-masing PS PPI tersebut hanya mampu menghasilkan alumni 60 sampai 120 per kali penerimaan. Metode penyelenggaraan PS PPI dengan dua macam, yakni Rekognisi Pembelajaran Lampau (RPL) dan reguler. RPL merupakan proses pengakuan terhadap pendidikan dan pengalaman kerja selama ini bagi calon insinyur," katanya.

Sementara itu, reguler merupakan gabungan antara pengakuan pendidikan dan pengalaman kerja dengan ditambah uji performa akademik mahasiswa PS PPI.

Namun penyelenggaraan PS PPI kini terseok-seok, dari 40 universitas dan institut yang diberi mandat oleh Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi, hanya baru 18 perguruan tinggi yang menyatakan siap untuk menyelenggarakan PS PPI itu.

Dari 18 perguruan tinggi tersebut kurang dari setengahnya yang telah menerima mahasiswa. Kondisi tersebut diperparah dengan keterbatasan anggaran untuk PS PPI dari universitas.

Universitas terpaksa menyisihkan sebagian anggaran yang biasanya dipakai untuk menyelenggarakan kegiatan lain untuk penyelenggaraan, menyiapkan sarana dan prasarana PS PPI.

Sementara minat para dosen untuk menjadi insinyur dan insinyur profesional sangat rendah sehingga sangat sulit bagi PS PPI untuk merekrut dosen.

"Bahkan mempekerjakan praktisi yang telah mempunyai gelar insinyur profesional terkendala dengan UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen," katanya.

Untuk menjadi dosen harus S2 dan mempunyai kompetensi dalam mengajar. Kompetensi dalam mengajar tersebut tentu harus ditunjukan adanya sertifikat dosen professional.

"Diperlukan waktu dua tahun magang mengajar di perguruan tinggi lebih dahulu sebelum memperoleh sertifikat tersebut," katanya.

Di sisi lain minat atau keinginan masyarakat dan praktisi yang telah bekerja di bidang keinsinyuran untuk mengikuti pendidikan di PS PPI pun sangat rendah.

Mereka cenderung bertahan atau tidak mau dan selalu mempertanyakan pentingnya gelar profesi insinyur tersebut. Tanpa gelar insinyur mereka dapat bekerja seperti biasa, menyelenggarakan pekerjaan keinsinyuran tanpa sanksi apapun.

"Padahal mereka harus menyadari bahwa profesi insinyur merupakan profesi baru yang harus ada di dalam penyelenggaraan pekerjaan keinsinyuran setelah diundangkannya UU Nomor 11 Tahun 2014 tentang Keinsinyuran dan harus ada apalagi tidak bisa mundur dengan tuntutan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA)," katanya.

Ia menyebutkan, untuk mengikut Rekognisi Pembelajaran Lampau (RPL) metode pembelajaran PS PPI untuk yang baru biaya studinya sebesar Rp10 juta diselenggarakan Unand. Di TIB Rp12,5 juta dan UMI Makassar Rp15 juta.