Ketika Ibu Kota Memasyarakatkan Wayang

id ketika ibu, kota memasyarakatkan wayang

Ketika Ibu Kota Memasyarakatkan Wayang



Oleh Michael Teguh Adiputra Siahaan

Jakarta, (Antarariau.com) - Wayang, dalam bahasa Jawa berarti "bayangan", kata Turita Indah Setyani, akademisi dari Program Studi Jawa, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia dalam tulisannya pada tahun 2008.

Menurut Turita, pengertian tersebut terus berkembang dan akhirnya menjadi "pertunjukan pentas atau pentas dalam arti umum". Ia menyandarkan pendapatnya ini dari buku "Wayang: Asal-usul, Filsafat dan Masa Depannya" karya Sri Mulyono (1989).

Wayang, sepanjang perjalanannya di Nusantara, terpengaruh banyak hal dari kehidupan, mulai dari keadaan sosial, budaya, kepercayaan dan lain-lain.

Sayang, seperti lazimnya nasib tradisi kuno ketika berhadapan dengan perkembangan zaman, perlahan lakon-lakon wayang mulai ditinggalkan.

Kalangan penerus, para generasi muda itu, tidak terlalu bernafsu terlibat di dalamnya. Hal ini juga diakui oleh Kepala Unit Pengelola Museum Seni DKI Jakarta, meliputi Museum Tekstil, Museum Wayang serta Museum Seni Rupa dan Keramik, Dyah Damayanti.

"Perkembangan wayang cenderung lambat karena mungkin tidak "in" (tidak cocok) untuk anak-anak muda," ujar Dyah Damayanti.

Demi memecahkan permasalahan tersebut, pihak Museum Seni selalu memutar otak. Program dalang cilik pun diadakan, minimal dua kali dalam sebulan.

Selain itu pemerintah Ibu Kota juga kerap melaksanakan acara-acara yang bisa menarik masyarakat Jakarta. Salah satunya adalah dengan melaksanakan Festival Wayang Nusantara, yang diselenggarakan mulai tanggal 7-11 Oktober 2015 di Museum Wayang, Jakarta.

Bersambung ke hal 2 ...